Jakarta,Klikanggaran.com - Baru-baru ini, Polri membongkar kasus-kasus dugaan penipuan penjualan rumah berkedok properti atau perumahan syariah. Di Surabaya awal Januari lalu, penipuan tersebut diduga dilakukan oleh PT Cahaya Mentari Pratama dengan meraup uang Rp 3 miliar dari 32 orang korbannya. Menurut pihak berwajib, proyek perumahan fiktif bernama Multazam Islamic Residence itu menawarkan 2000 unit rumah sehingga berpotensi merugikan masyarakat ratusan miliar rupiah.
Sebelumnya, November 2019 lalu, penipuan serupa juga terbongkar di Jakarta dengan proyek perumahan syariah di Bogor. Penipuan diduga dilakukan oleh PT ARM Citra Mulya yang berhasil menggondol dana Rp 23 miliar dari 270 orang korbannya. Paling anyar, (27-1-2020) dilaporkan penipuan berkedok perumahan syariah di Ponorogo, Jawa Timur dengan korban 47 orang. Perumahan fiktif itu bernama Dream Land, telah meraup dana Rp4,5 miliar dari para korbannya, sedangkan perumahannya tidak ada.
Apakah para developer penipu itu menjual properti atau perumahan syariah? Pasti tidak. Mengapa? Karena properti atau perumahan syariah itu tidak ada. Istilah itu hanya dibuat-buat untuk mengelabui masyarakat konsumen. Pergudangan syariah, perkantoran syariah, atau pertokoan syariah, semua itu tidak ada. Yang ada adalah rumah atau produk properti lainnya yang diperoleh atau dibeli melalui akad syariah.
Jadi, kesyariahan itu hanya terletak pada akad pembiayaannya, bukan pada bangunan rumahnya. Mana ada rumah syariah, dapur syariah, genteng syariah, atau kloset syariah! Orang bisa saja membeli mobil atau traktor secara kredit dengan akad syariah, tapi barangnya tidak lantas disebut mobil atau traktor syariah.
Apakah mereka developer syariah? Juga bukan. Developer perumahan atau perusahaan real estat adalah Perseroan Terbatas (PT), bukan perorangan. Lalu apanya yang syariah? Mana ada PT yang syariah dan tidak syariah. Semua PT yang didirikan sesuai UU dan peraturan yang berlaku, dengan sendirinya sudah syar'i.
Sebenarnya, bisa saja mereka mendirikan PT yang menyatakan diri di dalam AD/ART-nya hanya akan menggunakan akad syariah dalam menjual produk propertinya, lalu mereka mengklaim sebagai developer syariah. Lalu mereka menggunakan nama PT Bumi Syariah Jaya, misalnya. Kalau itu dilakukan, maka mereka harus diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS) MUI. Dengan demikian, developer tersebut akan terdaftar di MUI.
Hingga saat ini, belum ada satu pun perusahaan real estat yang dinyatakan terdaftar sebagai developer atau pengembang syariah oleh MUI. Jadi, mereka menyebut dirinya developer syariah hanya akal bulus saja untuk mengelabui konsumen.
Akal bulus lain adalah memberikan fasilitas kredit inhouse kepada konsumen, lalu mereka menyatakan diri sebagai developer syariah dan menjual perumahan syariah. Jika melakukan praktik demikian, berarti mereka menjalankan kegiatan usahanya seperti lembaga keuangan. Konsekuensinya, mereka wajib mendapat izin dan pengawasan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Apakah demikian yang mereka lakukan? Tidak. Mereka berupaya menghindari semua institusi yang terkait dengan perumahan.
Fasilitas kredit inhouse yang diberikan itu juga hanya upaya untuk menghindari perbankan syariah. Mereka tidak mau berurusan dengan pemerintah daerah, perbankan, dan asosiasi pengembang agar bisa dengan mudah mengelabui konsumen.
Kalau konsumen mengajak developer abal-abal itu ke perbankan syariah, maka konsumen tersebut tidak akan tertipu. Pihak bank akan meminta berkas-berkas legalitas developer tersebut, sertifikat tanah atas nama PT, dan perizinan proyek seperti izin lokasi, izin lingkungan, izin site plan, dan IMB. Di sinilah kedok developer tersebut akan terbongkar dan diketahui oleh konsumen.
Mana bisa mereka menunjukkan sertifikat tanah atas nama PT-nya, wong tanahnya masih milik orang lain! Mana bisa mereka mengurus izin site plan atau IMB kalau sertifikat tanahnya belum ada! Itulah sebabnya mereka menggiring konsumen untuk tidak menggunakan KPR syariah. Mereka membius konsumen dengan dalil-dalil agama, sambil menyatakan bank-bank syariah itu haram, karena menerapkan denda, sita, dan sebagainya.
Mereka menyatakan, KPR syariah itu angsurannya mahal, prosesnya berbelit-belit, harus pakai checking BI, nanti bisa ditolak, dan sebagainya.
Kelompok mana yang dijadikan mangsa oleh developer penipu berkedok properti syariah ini? Setidaknya ada tiga kelompok mangsa. Pertama, para pemilik lahan. Yang mudah dijadikan mangsa biasanya adalah para petani atau warga desa yang tidak paham bisnis perumahan. Developer abal-abal itu melakukan pendekatan dan negosiasi kepada pemilik lahan dengan tujuan dapat menggunakan lahan tersebut sebagai modal penipuannya.
Caranya, mereka menyatakan minat membeli lahan mereka dengan pembayaran secara bertahap atau mengajak pemiliknya untuk bekerja sama dengan iming-iming hasil yang besar. Kalau lahan yang mereka incar seluas 10 hektar misalnya, itu bisa terdiri dari 30-40 orang pemilik lahan. Model pembeliannya bisa bermacam-macam. Bisa dibeli putus, bisa juga diajak kerja sama dengan bagi hasil. Intinya, mereka mengatur sedemikian rupa agar pemilik lahan bersedia menerima janji pembayaran tanahnya di kemudian hari.