Berbagai kompetensi (seperti riset, periklanan, kampanye media, penggalangan dana dan sebagainya) menjadi sesuatu yang wajib dimiliki oleh partai dan kandidat. Tidak cukup kandidat hanya bisa membuat program dan berpidato (seperti pada era politik lama).
Di era profesionalisme politik, kandidat juga harus dibantu tim yang mempunyai kemampuan mengemas pesan, membuat pencitraan, memiliki teknik dalam debat politik, dan tampil baik di depan televisi (lihat Newman, 1999).
Perkembaangan lebih lanjut dari fase ketiga ini mulai bergesernya perhatian kepada pemilih.
Fase keempat, perhatian semakin ditujukan kepada pertanyaan apa yang disukai oleh pemilih. Kebutuhan pemilih ini menjadi dasar partai menghasilkan produk (termasuk kanidat) yang sesuai.
Fase ini didorong oleh makin tumbuhnya pemilih yang kritis dan independent, yang tidak mengidentifikasi dirinya sebagai pendukung partai tertentu.
Jenis pemilih tersebut bisa berpindah dari satu partai ke partai lain. Kondisi ini menggeser fokus strategi politik kepada pemilih. Inilah sociol origin bagi lahirnya marketing politik.
Inilah awal datangnya konsultan politik, surveyor, ahli media, penulis pidato, perancang busana, event organizer dalam politik.
-000-
Seorang ideolog murni memang tidak berkompromi. Ia berdiri tegak lurus atas apa yang ia yakini. “Seandainyapun aku harus sendiri, melawan seluruh dunia, tetap kupegang teguh keyakinan ini.” Itu seorang true believer.
Ketika ia meyakini perbudakan harus dihapuskan, maka ia tak peduli preferensi pemilih. Ia tak peduli selera pasar. Ia akan terus maju saja. Menerjang. Terjang.
Ketika ia meyakini persamaan hak wanita, ia pun terus berjuang di sana. Maju tak gentar. Tak peduli melawan dunia.
Tapi politisi yang perlu dipilih rakyat banyak tak bisa 100 persen menjadi ideolog. Jelas seorang politisi yang baik, ia harus punya core philosophy. Ia perlu memiliki prinsip politik yang menjadi karakternya.
Namun sang politisi juga harus mengedukasi masyarakatnya. Banyak Ide pembaharuan acapkali mulai dengan dukungan minoritas. Sang politisi harus terpilih dulu. Dengan kekuasaan di tangan, lebih banyak yang bisa ia lakukan untuk mengedukasi masyarakatnya.
Pada titik ini, sang politisi menjadi cerdas secara politik. Ia harus mendengar preferensi mayoritas pemilih jika ingin dipilih. Lalu melakukan pencerahan secara bertahap ketika ia berkuasa.
Marketing politik membantu politisi untuk cerdas mendengar preferensi pemilih. *^