Penetapan Kerugian Negara serta Penyelesaiannya dalam Prespektif Hukum Administrasi, Hukum Pidana, dan Hukum Perdata

photo author
- Sabtu, 23 Mei 2020 | 22:13 WIB
BPK
BPK


KLIKANGGARAN--Pengertian kerugian negara menurut pasal 1 ayat (22) Undang-undang No.1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara adalah “ kekurangan uang, surat berharga dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.


Pasal 22 E ayat  (1) Undang-undang Dasar 1945 mengamanatkan “Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara diadakan Badan Pemeriksa Keuangan Negara yang bebas dan mandiri. Amanat ini diperkuat lagi dalam pasal 23 E ayat (2) yaitu “Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada DPR, DPD dan DPRD sesuai dengan kewenangannya.Dari kedua pasal ini terlihat jelas bahwa negara memberikan otoritas sepenuhnya kepada BPK dalam konteks memeriksa beserta hasilnya, sehingga tidak ada lagi Institusi lain yang diizinkan memeriksa dan memberi opini  terhadap keuangan negara selain daripada persetujuan ataupun penugasan resmi dari BPK


Pertanyaannya sekarang, siapakah yang berwenang memberikan penilaian adanya kerugian negara.? Kewenangan tersebut sebenarnya sudah diatur dalam Pasal 9, 10, 11 dan 12 Undang-undang No.15 tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung jawab keuangan Negara, yakni Badan Pemeriksa Keuangan Negara.Selain Undang-Undang tersebut, BPK berwenang juga menetapkan kerugian negara sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Ayat (1) s.d ayat (4) Undang-undang No.15 tahun 2006 tentang BPK


Berdasarkan ketentuan Undang-undang tersebut, paling tidak ada tiga cara penyelesaian kerugian negara/daerah yakni penyelesaian dengan menggunakan prespektip hukum pidana, hukum perdata, dan hukum administrasi.


Prespektif Administrasi


Penyelesaian kerugian negara/daerah dalam prespektif  hukum administrasi pada dasarnya berupa tuntutan perbendaharaan dan tuntutan ganti rugi yang tidak melalui sistem persidangan di pengadilan, dimana pada hakikatnya pengembalian kerugian negara tersebut berfokus pada aspek “administrasi” akan tetapi tetap berada dalam lingkup hukum keuangan negara.


Dalam hal terjadi kekurangan kas/barang yang mengakibatkan kerugian negara/daerah maka standart perlakuan administrasinya adalah :



  1. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menerbitkan surat keputusan (SK) penetapan batas waktu pertaanggungjawaban bendahara atas kekurangan kas/barang dalam persediaan yang merugikan keuangan negara/daerah.Surat keputusan (SK) ini diterbitkan apabila belum adanya penyelasian yang dilakukan sesuai dengan standart operasional ganti kerugian/daereah yang diterbitkan pihak BPK.

  2. Bendahara dapat mengajukan keberatan dan atau pembelaan diri kepada pihak BPK dalam waktu 14 hari (empat belas) hari kerja setelah menerima surat keputusan BPK tersebut.

  3. Apabila bendahara tidak ada mengajukan keberatannya atau pembelaan dirinya di tolak oleh pihak BPK , maka pihak BPK menetapkan SK Pembebanan pengganti kerugian negara/daerah kepada bendahara bersangkutan.

  4. Tata cara penyelesaian ganti kerugian negara/daerah terhadap bendahara ditetapkan oleh pihak BPK setelah terlebih dahulu berkonsultasi dengan pihak pemerintah.


Prespektip Hukum Pidana.


Penyelesaian kerugian negara dalam prespektif hukum pidana harus diartikan sebagai upaya alternatif bukan sebagai alat yang terakhir atau disebut juga “Ultimum remedium”. Jelas disini bahwa upaya hukum pidana dalam penyelesaian kerugian negara bukanlah satu-satunya pilihan melainkan sebagai alternatif dimana ada instrumen hukum pidana yang dipakai yaitu Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau yang disingkat (UU PTPK).


Penerapan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi  sebagai instrumen hukum pidana pastilah melalui proses peradilan untuk mengembalikan kerugian negara yang harus difungsikan sebagai sarana hukum yang diutamakan atau “Premium remedium”, sehingga dengan demikian proses pengembalian kerugian negara tersebut bukan dipandang sebagai bentuk sanksi atau hukuman, tetapi lebih  pentingnya lagi dipandang sebagai bentuk tanggungjawab dan atau kewajiban yang sifatnya mengikat, dan pasti yang harus dilaksanakan agar tidak ditemukan lagi kerugian negara.


Pertanyaanya sekarang, siapakah yang seharusnya dimintakan pertanggungjawaban terhadap timbulnya  kerugian negara akibat perbuatan melawan hukum? ini dapat terjawab jika aparat penegak hukum (APH) dapat menetapkan hubungan “sebab akibat’ atau hubungan “kausalitas” yakni hubungan antara perbuatan melawan hukum dan kerugian yang ditimbulkan, sehingga menjadi penting apabila prinsip kausalitas ini diterapkan dalam hukum pidana sehingga bisa menentukan siapakah yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap timbulnya suatu akibat (strafrechtelijke a anspraakelijkheid).


Berdasarkan ketentuan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka penyelesaian kerugian negara melalui hukum pidana dilakukan terhadap mereka yang terbukti secara sah dan meyakinkan memenuhi kriteria/unsur tindak pidana korupsi berupa pemidanaan baik pidana penjara dan/atau denda, dengan demikian penyelesaian dilakukan melalui mekanisme persidangan di pengadilan.


Prespektip Hukum Perdata.


Pasal 32 ayat (1)  Undang-undang no.31 Tahun 1991 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi memberi ruang terhadap penyelesaian kerugian negara/daerah melalui mekanisme pengadilan dengan menggunakan hukum perdata.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Tim Berita

Tags

Rekomendasi

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB
X