Perppu Corona Kepentingan Siapa, Rakyat atau Pejabat?

photo author
- Selasa, 5 Mei 2020 | 00:34 WIB
Omnibus Law
Omnibus Law

Badiul Hadi, Manager Riset Seknas FITRA, menyatakan pasal-pasal pelonggaran ini jangan sampai dimanfaatkan para pihak sebagai alat pelegalan korupsi dan perlindungan para pihak yang ingin bermufakat jahat. Pemerintah harus melaksanakan prinsip penganggaran yang transparan, akuntabel disemua aspek, terutama pelaksanaan anggaran; pengadaan barang dan jasa semua harus di buka kepublik. Transparansi penggunaan anggaran akan menyelamatkan uang negara dari para koruptor.


Yusfitriadi, Direktur DEEP, juga menyatakan rekayasa anggaran pemerintah yang dipayungi oleh Perppu Nomor 1 Tahun 2020. Peraturan inilah yang dipersiapkan pemerintah untuk melindungi para Aparatur Sipil dan Negara ketika terdapat “malpraktek” dalam mengelola rekayasa anggaran, baik ditingkat pusat, propinsi maupun kabupaten/kota. Jebakannya adalah kemana anggaran hasil rekayasa tersebut dipergunakan dan bagaimana bentuk transparasi serta akuntabilitasnya.


Kebijakan Pembatasan Sosial Bersakala Besar (PSBB) yang diterapkan diberbagai daerah yang menggunakan anggaran hasil rekayasa tersebut, sebagian besar “gagal”, sehingga banyak daerah mengajukan PSBB tahap kedua, tentu dengan menggunakan anggaran yang sama. Termasuk pendataan masyarakat yang terdampak COVID-19 yang merupakan tugas Gugus Tugas pun tidak berjalan. Padahal kinerja Gugus Tugas tersebut juga atas biaya hasil rekayasa itu. Sampai hari ini masyarakat tidak mendapatkan informasi yang terbuka terkait penggunaan semua anggaran hasil rekayasa tersebut.


Selain itu, ditengah gaduhnya masalah COVID-19 ini, ada saja pihak-pihak yang memanfaatkan situasi dengan "mengail di air keruh", baik untuk kepentingan politik, seperti pembahasan undang-undang omnibus law, maupun kepentingan bisnis istana, seperti kasus anggaran Rp 5,6 triliun untuk penyelenggaraan pelatihan kartu pra-kerja, diantaranya dikelola Adamas Belva Syah Devara, CEO Skill Academy Ruangguru yang ditunjuk sebagai penyelenggara pelatihan.


Jeirry Sumpampow, Koordinator TePI, menyatakan Situasi Pandemi Covid-19 ini tidak boleh membuka ruang bagi kemungkinan praktek korupsi. Penggunaan keuangan negara dalam rangka penanganan Covid-19 harus tetap menggunakan kaidah dan prinsip demokrasi dan prinsip-prinsip pengelolaan keuangan negara yang benar. Jangan sampai ada oknum memanfaatkan situasi penanganan bencana ini untuk memperkaya diri dan kepentingan politik lainnya.


Para pejabat pun harus patuh pada kaidah pengelolaan keuangan yang benar. Jika melanggar harus bisa dihukum sesuai aturan hukum yang berlaku. Tak boleh kebal hukum. Karena itu, regulasi yang memberi ruang bagi kemungkinan terjadinya praktek korupsi dan pelakunya juga diberikan kekebalan hukum, secara otomatis tak berlaku atau gugur di negara hukum seperti Indonesia. Karena itu, saya mendorong agar DPR RI menolak aturan tentang itu dalam Perppu No. 1 Tahun 2020.


Arif Susanto, Analis Politik Exposit Strategic, menyatakan darurat pandemi Covid-19 bukan berarti mengecualikan penyelenggara negara dari tanggung jawab. Karena itu, tidak boleh ada in-efisiensi apalagi korupsi atas anggaran negara untuk penanggulangan pandemi. Agar hal tersebut dapat diwujudkan, kontrol terhadap pemerintah perlu dilakukan berlapis; mulai dari kontrol internal, kontrol oleh lembaga legislatif, kontrol oleh media, dan kontrol oleh elemen lain masyarakat. Ini membuat jaminan kebebasan berpendapat juga tetap perlu memperoleh perhatian, agar jangan sampai terjadi intimidasi apalagi pembungkaman terhadap kalangan yang kritis.


Pengecualian para pengambil kebijakan dari kemungkinan jerat hukum juga tidak boleh terjadi. Selain merupakan pengebawahan hukum, aturan dan tindakan tersebut berlawanan dengan kesetaraan di hadapan hukum dan pemerintahan. Terakhir, segala bentuk refocusing anggaran tidak boleh membahayakan keseimbangan anggaran negara dan tidak boleh merampas hak generasi mendatang dalam berbagai bentuknya.


Lucius Karus, Peneliti Formappi, menyatakan banyaknya kritik atas isi Perppu mestinya mengisyaratkan perlu dan segeranya DPR mengambil sikap dengan memulai pembahasan resmi Perppu. Ketimbang melanjutkan pembahasan RUU-RUU yang tidak prioritas dalam konteks pandemi. DPR mestinya serius memikirkan jalan keluar terbaik agar rakyat tetap diprioritaskan di masa Pandemi dengan tetap mengacu pada kaidah-kaidah tata kelola pemerintahan yang bersih sekaligus demokratis.


Alwan Ola Riantoby, Koordinator Nasional JPPR, menyatakan potensi penyalahgunaan anggaran bantuan covid-19, baik dalam bentuk korupsi, mark-up dan menggunakannya untuk  kepentingan  politik  pencitraan mempunyai potensi  yang sangat tinggi. Lahirnya perppu sebagai landasan  hukum,  ternyata tidak mampu  menjadi sebuah aturan yang komprehensif. Justru malah memberikan  cela baru untuk  praktek korupsi. Dalam kondisi  menghadapi musibah kemanusiaan, lalu  penyelenggara negara  melakukan korupsi, maka sungguh ini perilaku yang tidak terpuji. Itu tandanya tidak punya rasa kemanusiaan, karena bantuan itu adalah hak rakyat.


Maka dalam kondisi seperti  ini,  relasi state dan civil society  perlu  di bangun dan di perbaiki. Relasi state dan civil society jangan putus, sehingga  mampu memberikan kontrol yang kuat terhadap negara.
Untuk itu, GIAD merekomendasikan kepada pemerintah dan para pemangku kepentingan, untuk:
Meminta DPR untuk melakukan koreksi atas kewenangan mutlak anggota KSSK dalam hal mengelola keuangan negara tanpa dapat dituntut di hadapan hukum. Bahwa pengelolaan keuangan negara tidak bisa didasarkan semata pada iktikad baik pejabat negara. Iktikad baik itu tanpa rambu yang jelas seringkali justru menjadi pintu masuk bagi lahirnya tindakan tidak baik. Sejarah bangsa kita telah memberi kesaksian tentang iktikad baik yang seringkali gagal berbuah kebaikan. Oleh karena itu, iktikad baik itu harus tetap berada dalam sistem yang transparan, akuntabel dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan politik.


Pemerintah dalam menjalankan mandat pengelolaan negara terutama keuangan negara harus mengedepankan prinsip-prinsip keterbukan dan bebas dari korupsi. Pelonggaran pengelolaan keuangan tidak serta-merta bisa dijadikan sebagai dasar kebijakan “kebal hukum” bagi pemerintah dan para pihak termasuk pejabat di KSSK dalam pengelolaan keuangan negara selama masa pandemic COVID-19.


Jika memang dikemudian hari ditemukan praktik korupsi, maka penegakan hukum harus dilaksanakan.
Meminta pemerintah melakukan transparansi pengelolaan anggaran penanganan COVID-19 dengan membuat kanal informasi khusus penggunaan anggaran COVID-19, baik di Kementerian/Lembaga, Pemerintah Provinsi, Pemerntah Kabupaten/Kota dan Pemerintah Desa sebagai wujud komitmen keterbukaan informasi dan pemberantasan korupsi.
DPR merevisi prioritas Program Legislasi Nasional (prolegnas) 2020 dengan memasukkan Revisi Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, sebagai bentuk komitmen penyelamatan keuangan negara dan menjaga kesehatan keuangan negara dengan mengembalikan batas maksimum defisit anggaran di 3% dari PDB.


Oleh: Gerakan untuk Indonesia Adil dan Demokratis (GIAD):


1. Ray Rangkuti (LIMA Indonesia)
2. Badiul Hadi (Seknas Fitra)
3. Arif Susanto (Exposit Strategic)
4. Jeirry Sumampow (TePI)
5. Kaka Suminta (KIPP)
6. Lucius Karus (Formappi)
7. Alwan Ola Riantoby (JPPR)
8. Arif Nur Alam (IBC)
9. Yusfitriadi (DEEP)

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: M.J. Putra

Tags

Rekomendasi

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB
X