Karena tidak ada titik terang dalam penyelesaian piutang Yayasan Supersemar, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam LKPP 2018 menganggap eksekusi kasus hukum ini termasuk dalam kategori “Macet”. Macetnya upaya eksekusi aset milik Yayasan Supersemar ini berbahaya bagi pemasukan negara yang diperoleh dari upaya hukum yang sudah inkracht.
“Terdapat potensi ketidakjelasan piutang dan pengelolaan aset sitaan dari piutang Yayasan Supersemar,” demikian isi petikan laporan BPK pada halaman 49.
Menurut BPK, salah satu penyebabnya karena belum ada penunjukkan eksekutor untuk menyelesaikan piutang, termasuk pengelolaan aset sitaan. Secara lebih spesifik, BPK Menyorot PMK No. 127/PMK.05/2018 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Transaksi Khusus, yang hanya menunjukk Direktoran Pengelolaan Kekayaan Negara Dan Sistem Imformasi (PKNSI) sebagai penyaji piutang. PKNSI tidak memiliki kewenangan eksekutor dan pengelolaan aset negara.
Singkatnya, ada persoalan regulasi akuntansi di Kementerian Keuangan. Sebagai pihak yang bertanggung jawab untuk mengelola kekayaan negara, BPK merekomendasi agar Kementerian Kuangan memperbaiki koordinasi dengan lembaga terkait, agar proses pendataan dan penyitaan aset-aset Yayasan Supersemar lebih cepat terlaksana.
Sementara itu, Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), M. Isnur, menilai berlarutnya urusan penyitaan aset Yayasan Supersemar sebagai bentuk tidak ada niat baik dari pemerintah untuk mengikis korupsi yang dilakukan oleh badan hukum yayasan bentukan keluarga Cendana itu.
“Nah ini menjadi pertanyaan besar bagi saya, mengapa negara tidak mampu mengeksekusi. Itu sangat lambat dalam mengeksekusi, dimana letak hukum. Sebenarnya ini pertaruhan negara hukum, pertaruhan Indonesia sebagai negara yang dalam konstitusinya menyebutkan hukum sebagai panglima, ini pertaruhan dan ini sangat memalukan sekali. Jadi bagian utuh sebenarnya pemerintah sekarang nampaknya tidak serius, jadi saya melihatnya bukan soal kemampuan tapi soal goodwill, soal kemauan, kemauan apa yang sebenarnya ditunjukkan secara serius oleh Presiden,” katanya saat dihubungi tim.
Kata dia, hukum di Indonesia ini tumpul ke atas tajam ke bawah. Sehingga sangat jelas sekali dalam soal kasus ini pemerintah takut menghadapi jaringan penguasa Orde Baru yang menguasai struktur pemerintahan selama 32 tahun.
“Kendalanya adalah karena berhadapan dengan kekuasaan. Jadi seperti kita ketahui meskipun dia sudah tidak lagi berkuasa atau anak penguasa begitu tapi dalam realitanya misalnya aset dan lain-lain itu masih milik atau terkait dengan penguasa kan. Dan dia juga masih berpengaruh dalam banyak hal,”katanya.
Mengenai soal aset yang tetap masih bisa digunakan oleh keluarga Cendana, Isnur menilai ada mafia peradilan yang bermain dalam soal aset sitaan negara.
“Betul sekali, begini, yang pertama para pihak-pihak yang terlibat di dalamnya itu seperti ada intervensi dan lain-lain. Dan kita tahu bersama mafia peradilan ini adalah mafia yang nyata. Dia bisa intervensi banyak hal dalam proses peradilan termasuk dalam eksekusi,” jelasnya.
Sumber: Law-Justice.co