Hasil UKG yang Terkesan “Ditutup-tutupi”
Kedua, catatan berikutnya yang penting diurai adalah pelaksanaan UKG DKI Jakarta terasa sangat serbadadakan. Saya menilai dari aspek teknis, persiapan, dan manajemen informasi yang sangat buruk dari pengelola (Dinas Pendidikan). Sehingga banyak guru yang namanya tidak tercantum di dalam daftar peserta tes. Ditambah lagi kesalahan teknis seperti soal yang tak sesuai dengan mata pelajaran yang diampu guru. Misalnya guru pendidikan ekonomi mendapatkan soal di luar kompetensinya. Bahkan kualitas soal yang dinilai buruk karena tak relevan dengan teori atau fakta.
Kemudian dari aspek akuntabilitas dan transparansi, Dinas Pendidikan DKI Jakarta tidak mempublikasikan data hasil nilai UKG. Buktinya publik tidak bisa mengakses data UKG 2019 tersebut di laman website resmi pemerintah provinsi DKI Jakarta. Justru hasil UKG (itu pun nilai rata-rata keseluruhan) dibagikan “hanya” melalui whatsapp group pada 25 Januari 2020. Saya menduga ada kekhawatiran Dinas Pendidikan DKI Jakarta dengan “menutup” informasi data rincian hasil UKG: khawatir terhadap kritik publik/media; khawatir dikritisi metode tesnya; dikuliti indikator soalnya; atau bisa saja dinilai akan merugikan “secara politik” bagi Pemprov DKI.
Padahal UU KIP No 14 Tahun 2008 telah memberikan payung hukum bagi masyarakat untuk terbuka mengakses informasi yang nota bene adalah milik publik seperti hasil UKG. Tentu bukan hasil nilai UKG by name, melainkan yang dipublikasikan adalah nilai: rata-rata tiap mata pelajaran; rata-rata tiap wilayah; rata-rata sekolah negeri dan swasta; rata-rata nilai pedagogik & profesional; dan rata-rata tiap jenjang pendidikan (dasar dan menengah). Bahkan bisa diperluas berdasarkan usia dan lama mengajar. Sesungguhnya prinsip akuntabilitas dan transparansi perlu dilakukan agar ada masukan- masukan konstruktif dari publik, para ahli, pihak kampus dan stakeholder lainnya. Termasuk dari organisasi pofesi guru yang mempunyai kepentingan yang sama, meningkatkan kompetensi guru.
Bagaimana Setelah UKG?
Ketiga, sebagai tindaklanjut, pembinaan dan pelatihan perlu dilakukan, berdasarkan karakteristik telaah hasil UKG. Ini yang sampai sekarang ditunggu-tunggu guru DKI. Menjadi tanda tanya besar hingga sekarang, apa yang dilakukan pemerintah DKI Jakarta pasca-UKG? Perlakuan seperti apa yang diberikan pada masing-masing guru permatapelajaran dan perwilayah. Pertanyaan mendasar ini juga disoal para guru pasca-UKG nasional 2015. Sama saja, hasilnya guru tak merasa diberikan pelatihan dan pembimbingan yang betul-betul terasa bermanfaat bagi peningkatan kualitasnya. Adapun pelatihan, yang diundang guru dan sekolahnya itu-itu saja.
Harus diakui model pelatihan guru, baik yang dikelola Kemdikbud maupun daerah (DKI Jakarta) umumnya sama, begitu-begitu saja. Guru diundang ke tempat pelatihan yang dimiliki Pemda, dilatih beberapa hari, dengan pelatih dosen atau guru (rekan sejawat), materi klasikal, praktik pembuatan RPP (sebelum kebijakan Merdeka Belajar), yang antarpeserta dengan pembicara tak jarang lebih bermutu peserta gurunya ketimbang narasumber/pelatih. Pelatihannya terkesan redundant, masif, target tak terukur, dan ramainya di akhir tahun anggaran saja. Model pelatihan guru perlu direjuvenasi ke depannya.
Terakhir, ada pertanyaan khususnya dari para guru swasta DKI. Jika hasil UKG 2019 dijadikan bahan pertimbangan pemberian besaran TKD bagi guru ASN, bagaimana dengan hasil UKG guru swasta bahkan guru madrasah yang juga ikut serta? Secara praktis memang tak memengaruhi pendapatan mereka, kecuali sebagai bahan refleksi diri. Sudah sejauh mana perbaikan kualitas diri kita mendidik anak-anak generasi penerus bangsa?
Marilah para guru segera kita berbenah. Semoga ini menjadi refleksi bersama, para guru negeri dan swasta di DKI Jakarta.
Opini oleh Satriwan Salim
(Wasekjen Federasi Serikat Guru Indonesia)