Hasil Uji Kompetensi Guru Jakarta Sangat Rendah: Sebuah Tinjauan Kritis Reflektif

photo author
- Kamis, 13 Februari 2020 | 11:53 WIB
images_berita_Nov17_Guru
images_berita_Nov17_Guru


Pada  akhir  Desember  2019  lalu,  para  guru  tiap  jenjang  sekolah  (PAUD, SD,  SMP, SMA/SMK) di Provinsi DKI Jakarta mengikuti Uji Kompetensi Guru (UKG). UKG yang dilakukan beberapa gelombang tahapan ini diikuti 109.180 guru, baik berstatus guru negeri, guru tetap swasta, guru kontrak kerja individu (KKI), maupun guru honorer swasta. UKG serupa pernah dilakukan serentak secara nasional pada 2015. Empat tahun kemudian DKI Jakarta melaksanakannya secara mandiri. Mungkin saja 2020 ini UKG secara nasional akan kembali dihelat Kemdikbud.


Dinas   Pendidikan   DKI   Jakarta   mengutarakan   tujuan   UKG   adalah  dalam   rangka meningkatkan  kompetensi  guru  dan  untuk  mendapatkan informasi  mengenai  kompetensi guru. Hasil UKG merupakan bagian dari penilaian kinerja guru dan akan menjadi bahan pertimbangan penyusunan kebijakan dalam memberikan penghargaan serta apresiasi kepada guru, sekaligus redistribusi guru berbasis kualitas guru. Hasil UKG juga akan dijadikan bahan masukan dalam pemberian bentuk pelatihan yang akan diikuti guru nantinya. Jadi secara substantif, UKG dilaksanakan untuk mengetahui capaian kompetensi (kualitas) guru DKI Jakarta, walaupun hanya dua (2) kompetensi yang diukur: profesional dan pedagogik. Sedangkan kompetensi sosial dan kepribadian tidak diujikan.


Perihal UKG, setidaknya ada tiga poin catatan kritis yang ingin dielaborasi dalam tulisan singkat ini. Sebagai seorang guru, kebetulan mengajar salah satu sekolah swasta di DKI Jakarta dan aktif di organisasi profesi guru, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI). Tentu bagi saya, menjadi bagian tanggungjawab moral organisasi dan profesi.


Catatan Kritis UKG


Pertama, berdasarkan informasi yang diperoleh melalui broadcast via grup MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) 25 Januari 2020, yang ditujukan bagi pengawas dan kepala sekolah untuk disampaikan pada para guru, dituliskan bahwa konten siaran tersebut adalah hasil pengarahan Dinas Pendidikan, Kepala Bidang, dan Kepala Seksi di lingkungan Provinsi DKI Jakarta. Disebutkan di dalamnya, rata-rata hasil UKG DKI Jakarta tahun 2019 berada di angka 54 (skala 0-100). Angka ini menurun dibandingkan hasil UKG 2015 yaitu 58 (skala 0-100). Bahkan jika merujuk sumber resmi Neraca Pendidikan Daerah (NPD) Kemdikbud, disebutkan hasil rata-rata UKG DKI Jakarta pada 2015 bukan 58 melainkan di angka 62,58 (lebih lanjut lihat  https://npd.kemdikbud.go.id/?appid=ukg). Berdasarkan data di atas, jika kita bandingkan dalam kurun waktu empat tahun, ternyata kompetensi guru Jakarta mengalami penurunan, bahkan turun drastis. Perlu diingat dengan perolehan rata-rata nilai sekecil itu, di UKG 2015 justru provinsi DKI Jakarta meraih peringkat UKG terbaik ketiga versi Kemdikbud.


Persoalan kemudian adalah, mengapa hasil uji kompetensi guru DKI mengalami penurunan drastis? Sebuah realita paradoks terlihat, karena fakta lain menunjukkan tren alokasi APBD DKI Jakarta untuk pendidikan pada 2015-2019 terus mengalami kenaikan. Bahkan pada 2019 anggaran pendidikannya sampai ke angka 21,4 triliyun.


Anggaran pendidikan yang sangat fantastis ini ternyata belum mampu meningkatkan kompetensi (kualitas) guru DKI Jakarta. Penulis memandang ada yang perlu diperbaiki dalam format pembinaan, pengelolaan atau pelatihan guru DKI. Bahkan perlu adanya perbaikan besar-besaran dalam pengaturan distribusi, membangun kompetensi, model apresiasi, dan penciptaan kondisi yang berkeadilan antara guru ASN & KKI. Termasuk pembinaan yang serius terhadap guru sekolah swasta.


Sementara itu para guru khususnya yang berstatus ASN DKI Jakarta boleh bersyukur, mengingat angka tunjangan kinerja daerah (TKD) yang diperolehnya sebagai aparatur negara melebihi  tunjangan  guru  di  daerah  lain.  Bahkan  jauh  melampaui  pendapatan  para  guru honorer perbulannya. Ini adalah konsekuensi logis besarnya APBD DKI Jakarta, yang mengalahkan provinsi-provinsi lain di tanah air. Para guru di daerah lain boleh jadi “iri” sekaligus sedih melihatnya.


Saya makin kaget ketika membandingkan hasil UKG DKI Jakarta kali ini dengan hasil UKG nasional 2015. Rata-rata UKG nasional pada 2015 adalah 56,69, sedangkan sekarang DKI meraih  angka rata-rata 54.  Ini sungguh  memilukan  sekaligus  memalukan  bagi kita para pendidik. Mengingat Jakarta menjadi parameter pembangunan SDM dan pendidikan di tanah air.


Saya mencoba menimbang-nimbang, apa sebenarnya yang terjadi. Teringat kemudian penelitian Bank Dunia beberapa tahun lalu tentang tunjangan sertifikasi guru yang hanya mampu menaikkan pendapatan guru dan minat menjadi guru, tetapi belum mampu meningkatkan kompetensi guru secara nasional. Dengan kata lain tunjangan sertifikasi guru tidak linear dengan mutu guru. Faktanya mutu guru secara nasional masih rendah. Kondisi yang sama terjadi dalam konteks hubungan hasil UKG DKI Jakarta dengan besarnya pendapatan guru (ASN) di Jakarta.


Makanya saya berusaha berpikir seobjektif mungkin, ada dua sisi yang perlu dicatat. Makin turunnya nilai kompetensi guru DKI Jakarta, tidak bisa begitu saja kesalahannya dipikulkan kepada  guru.  Para  guru  tak  bisa  dipersalahkan  bulat-bulat.  Ada  lingkaran  sistemik  di dalamnya, yang saling memengaruhi. Karena terdapat variabel kebijakan pendidikan, pola pelatihan, pola rekruitmen  calon guru,  pola redistribusi,  bentuk  reward and  punishment, kultur birokrasi, dan sampai kepada penciptaan iklim yang adil di antara para guru, apapun statusnya secara administratif. Kesemuanya itu adalah produk regulasi daerah.


Hasil UKG Rendah Sebagai Bahan Introspeksi


Namun di sisi lain, hasil UKG yang sangat rendah itu harus menjadi bahan otokritik kita sebagai guru, untuk introspeksi diri secara personal dan kolektif. Kita harus merefleksikan kembali. Ada yang keliru mungkin dengan cara mengajar kita di sekolah, mungkin metode mengajar kita masih “begitu-begitu saja”. Mungkin kita sudah malas membaca buku (babon), karena  lebih  asik  membaca  status  teman  di  wall  FB  atau  lebih  senang  membaca  dan mengirim ulang broadcast di WAG. Bisa jadi kita sulit adaptif dengan kebutuhan dan pendekatan terhadap peserta didik, yang nota bene adalah Generasi Z bahkan Alpha, sedangkan kita sebagian besar adalah guru Generasi Baby Boomer, Generasi X dan (sedikit) Generasi Y/Milenial. Kita lebih suka mengajar model monolog di depan kelas, ketimbang menghidupkan dialog dan diskusi kritis.


Mungkin perlakuan kita ke para siswa tidak humanis, tak menarik, tak pandai memanfaatkan sumber belajar apalagi yang basisnya digital. Kita tak mampu menyelami dunia mereka, berjarak, merasa asing bahkan menuduh mereka dengan kalimat sakti: “Anak zaman sekarang banyak yang  tidak  tahu  sopan-santun,  tak  paham  tata  krama!”.  Mungkin  kita  makin mengalami penurunan motivasi, mengajar (mendidik) sekedar pelepas tanggungjawab belaka. Atau  justru  sudah  sibuk dengan  kegiatan  lain  yang  tidak  menggiring  pada kualitas  diri. Jangan-jangan kita dengan mudahnya bersikap, seolah rendah hati, mengatakan: “Sudahlah guru-guru muda saja yang ikut diskusi, bedah buku, lanjut S-2, ikut pelatihan IT, kami-kami yang senior ini mendorong saja dari belakang.” Jika ini benar terjadi dalam kehidupan persekolahan, sungguh kita telah berkhianat pada profesi mulia ini. Kita berada di zona nyaman (comfort zone) yang benar-benar mematikan pikiran dan rasa.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Administrator

Tags

Rekomendasi

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB
X