Permasalahan Jiwasraya dan Industri Asuransi

photo author
- Senin, 6 Januari 2020 | 08:40 WIB
IMG_20191228_165720
IMG_20191228_165720

Pilihan pertama memiliki konsekuensi yang tidak mudah. Sebelum meghentikan usahanya, sesuai dengan ketentuan UU No 40 tahun 2014 Bab X Pasal 42, kewajiban Jiwasraya mesti diselesaikan dahulu. Ini tentu mengandung konsekuensi fiskal yang tidak kecil. Selain itu, akan menimbulkan dampak yang bisa saja berkonsekuensi contagion terhadap bangunan stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan ( ini tentu memerlukan perhitungan yang cermat ).


Pilihan kedua adalah tetap melanjutkan kegiatan usaha Jiwasraya. Yang artinya, Menteri Keuangan memenuhi kewajiban standarnya untuk memenuhi syarat-syarat yang diperlukan oleh Jiwasraya sebagai Asuransi Jiwa untuk dapat beroperasi secara normal dalam bingkai regulasi yang ada. Ini pun juga mengandung konsekuensi fiskal yang tidak mudah.


Didalam pilihan ini juga terdapat kemungkinan bagi Pengendali untuk menggunakan lembaga mediasi yang sudah diatur didalam Undang-Undang untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi pemegang polis dalam mendapatkan. manfaat asuransi. Dengan begitu, mungkin bisa ditemukan pola restrukturisasi yang dapat membantu Jiwasraya dalam memenuhi kewajibannya.


Baca: Biro Administrasi Setda DKI Jakarta “Bermain-Main”  atas Perjalanan Dinas?


Saya pribadi menganjurkan Menteri Keuangan mengambil pilihan ini. Tentu dengan bersungguh- sungguh pula, memproses secara hukum pihak- pihak yang telah merugikan keuangan negara.


Jika pilihan ini yang diambil, maka DPR harus dapat diyakinkan untuk mengambil posisi yang sama. Pilihan pertama dan pilihan kedua sama-sama memgandung konsekuensi Fiskal.


Adapun regulator, dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan ( OJK ) juga memiliki PR yang tidak gampang. Sejak dibawah pengawasan Bapepam-LK, persoalan Jiwasraya sudah mengemuka dan terus berlangsung hingga berdirinya OJK.


Sejarah Jiwasraya sama tuanya dengan sejarah industri asuransi di Indonesia. Dimulai sejak tahun 1859 dimasa kolonial Belanda, hingga dinasionalisasinya semua perusahaan asuransi jiwa milik Belanda di tahun 1957, sampai kemudian secara resmi menjadi perusahaan asuransi jiwa milik negara ditahun 1960. Dan beroperasi hingga sekarang. Jiwasraya adalah pionir historis asuransi jiwa di Indonesia. Dapat dibayangkan betapa sulitnya regulator dalam menghadapi perusahaan asuransi yang sudah arkaik ini.


Pertama-tama, OJK dalam hemat saya seyogyanya memberi kesempatan kepada Pengendali ( Menteri Keuangan ) dalam mencari solusi permasalah Jiwasraya. Dengan catatan Menilik histori upaya penyelesain masalah Jiwasraya sejak 2004, toleransi yang linient oleh regulator pada hemat kami sudah lebih dari cukup.


Seperti yang sudah kami kemukan diawal. Industri asuransi sedang mengalami perubahan dan juga tekanan yang kuat. Laporan Tren industri asuransi tahun 2018 yang dirilis Oleh OECD menunjukkan beberapa tren umum yang dialami oleh industri asuransi. Diantaranya tren peningkatan premi, eksposure investasi yang dominan di obligasi, tren kerugian investasi ( investment losses) dan besarnya gross kewajiban yang mesti dibayarkan. eksposure masing- masing negara terhadap tren ini memang variatif.


Mc Kinsey dan Deloitte dalam rilisnya mengenai tren asuransi global, menunjukkan performa kinerja positif industri asuransi global. Dikawasan Asia Pasifik, India dan China menjadi faktor utama dalam menggerakkan tren positif itu. Menurut laporan Mc Kinsey, sejak tahun 2010 hingga tahun 2017, pertumbuhan industri asuransi global rata-rata diatas 4% per tahun. Di tahun 2017 malahan tumbuh hingga 4.7 %.


Dengan tren yang sedemikian positif itu, khususnya industri asuransi jiwa, dalam menyelesaikan permasalah jiwasraya, OJK dituntut untuk bisa menginsulasi dampaknya terhadap kinerja industri secara keseluruhan. Termasuk dalam menjaga tingkat kepercayaan publik terhadap keamanan dan kemampuan industri asuransi dalam menjalankan bisnisnya.


Persoalan insolvensi yang dialami Jiwasraya seyogyanya makin memperkuat penerapan market conduct policy di industri asuransi. Menurut laporan Deloitte, ini merupakan tren regulasi asuransi global. Diperlukan pengawasan dan stress test yang memadai dalam menguji solvabilitas industri asuransi. Pengawasan seperti ini diperlukan untuk memastikan bahwa kinerja industri betul-betul ditopang oleh profile bisnis yang kuat. Dan bukan disebabkan oleh tindak spekulatif jangka pendek yang membahayakan kesinambungan neraca bisnis asuransi dalam jangka panjang.


Sejak krisis tahun 1997-1998, kita juga sudah mengalami krisis-krisis sektoral dalam industri keuangan. Seperti krisis Redemption besar-besaran reksadana di tahun 2006, tekanan keuangan pada perbankan tidak sehat, yang tidak signifikan secara ukuran, yang berbuah bail
out bank Century di tahun 2008-2009 dan sekarang kita juga dihadapkan pada krisis yang dialami Jiwasraya. Kesemua krisis itu muncul diantaranya disebabkan oleh komplasensi kebijakan kita sendiri.


Baca: CBA: Borok Lama Ahok dan PT Nindya Karya dalam Proyek Play Over Pancoran

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Administrator

Tags

Rekomendasi

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB
X