Klikanggaran.com (10-08-2019) - Presiden Jokowi sangat antusias menyambut disetujuinya Rencana Pengembangan atau Plan of Development (POD) Lapangan Gas Abadi di Blok Masela. Indonesia sangat membutuhkan enerji dengan jumlah yang sangat besar untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri, Net Importir dengan gap yang terus membesar sangat membebani Indonesia. Terjadi defisit neraca Indonesia yang utamanya terjadi karena harus impor minyak dalam jumlah yang sangat besar. Sentilan Presiden Jokowi ke Menteri ESDM Jonan dan Menteri BUMN Rini Sumarno mengenai semakin tingginya impor minyak Indonesia, tidak mudah untuk dipecahkan. Bisa jadi setiap rapat kabinet, sentilan Presiden akan berlanjut, peningkatan produksi minyak yang menjadikan Indonesia tidak sebagai negara importir minyak dalam jumlah yang besar tidak dapat diatasi hanya dalam waktu 1 atau dua tahun.
Presiden Jokowi mengklaim projek gas Blok Masela merupakan projek yang terbesar selama ini di Indonesia, dan akan menyerap tenaga kerja Indonesia dalam jumlah yang sangat banyak, mencapai ratusan ribu orang. Tercatat biaya pengembangan lapangan gas di Blok Masela mendekati angka 20 miliar USD. Apabila ditambahkan dengan biaya awal seperti biaya mendapatkan blok migas, biaya studi eksplorasi hingga pemboran sumur eksplorasi yang berhasil menemukan lapangan gas, tentunya biaya yang harus dikeluarkan oleh Perusahaan Migas Pemegang Konsesi atau Wilayah Kerja Pertambangan di Blok Masela sangat besar.
DI MANAKAH BLOK MASELA?
Lapangan gas Abadi secara geologi terletak di "Australian Margin offshore". Meskipun secara geologi Blok Masela terletak di Australia plate atau lempeng Australia, Indonesia beruntung lapangan gas tersebut terletak di wilayah teritorial Indonesia dan "menempel" di utara perbatasan Indonesia-Australia atau masuk di wilayah NKRI.
Seperti halnya kebanyakan temuan minyak dan gas di bumi Australia, reservoir temuan di Lapangan Abadi di Blok Masela terletak di Plover Formation yang berumur Yura atau Yurasic (Pra-Tersier), terletak di kedalaman sekitar 3500 m lebih dari dasar laut. Cadangan gas yang akan dikembangkan di Lapangan Abadi besarnya sekitar 10 Tcf, tidak mudah menemukan gas dengan cadangan yang besar saat ini di Indonesia. Produksi minyak dan gas bumi semakin turun, konsumsi semakin meningkat, namun temuan minyak dan gas bumi semakin kecil dan sedikit. Tercatat lifting minyak bumi dari sekitar 1.300.000 bopd pada tahun 1999 menjadi hanya sekitar 750.000 bopd pada tahun 2019 atau turun 43% dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Masih berapa tahunkah Indonesia mempunyai Produksi dan Lifting minyak bumi? Pertanyaan yang menggelitik masyarakat Indonesia saat ini.
FENOMENA TEMUAN LAPANGAN GAS ABADI
Bisnis usaha hulu atau dikenal sebagai Upstream Business Development adalah bisnis yang membutuhkan teknologi tinggi, biaya besar, dan waktu yang relatif sangat lama. Meskipun di negaranya tidak ditemukan cadangan Migas, namun Inpex (Japan Oil Company) telah belajar dengan waktu yang sangat lama dan "menerus" dalam Teknis - Bisnis usaha Hulu perminyakan. Saat ini lahan operasi Inpex telah menyebar di seluruh dunia, baik sebagai Pemegang Participating Interest (PI) atau Hak Kelola minoritas hingga Pemegang PI mayoritas dan sebagai Operator. Proses pembelajaran berjalan bagus dan berkelanjutan, kestabilan politik Jepang mendukung semakin besarnya Inpex sebagai International Oil Company.
Dalam projek gas skala besar dengan bentuk LNG, tercatat Inpex sebagai Pemegang PI di LNG Blok MAHAKAM (sebelum diambil alih Pertamina) dan di LNG Tangguh berpartner dengan BP. Diketahui, di Blok Masela Inpex sebagai Pemegang PI 100% (sebelumnya dengan Shell) dan Operator, usaha mendapatkan projek yang dikagumi Presiden Jokowi dan rakyat Indonesia itu membutuhkan usaha yang keras, teknologi yang tinggi, biaya yang besar, dan waktu yang sangat lama. Penemuan Lapangan Gas Abadi terjadi pada tahun 2000, Rencana Pengembangan Lapangan atau POD baru diselesaikan setelah 19 tahun dan gas mengalir diperkirakan pada tahun 2027 atau setelah 27 tahun atau lebih dari 30 tahun setelah Inpex mengelola Blok Masela.
BAGAIMANA DENGAN PERTAMINA DAN INDONESIA?
Semenjak diundangkan UU No. 21 Tahun 2001 di mana kekuasaan dan manajemen pengelolaan bisnis migas Indonesia terpecah menjadi 3 dari Pertamina sebagai penguasa tunggal menjadi Kementerian ESDM, BPMIGAS yang sekarang menjadi SKKMIGAS dan Pertamina, yang menjadi sangat sulit adalah proses pembelajaran dan Continuous Learning dalam pengelolaan industri dan pengembangan usaha hulu migas. Tidak mudah menyatukan dan mengintegrasikan pengelolaan dan bisnis migas di Indonesia. Kondisi multi partai juga harus diakui mempersulit proses pembelajaran yang menerus dan berkelanjutan di Indonesia, setiap pergantian kepemimpinan di Indonesia selalu ditandai dengan bergantinya para pejabat di Kementerian ESDM, SKKMIGAS, PERTAMINA, dan BUMN.
Salah satu yang kentara adalah bergantinya Dirut Pertamina yang sangat cepat dalam 12 tahun terakhir (sejak sekitar tahun 2007) atau 6 tahun setelah diberlakukannya UU MIGAS NO. 22 Tahun 2001. Salah satu hal yang menarik lagi adalah para Pejabat Pimpinan Pertamina bukan hanya berasal atau ekspertis dalam pengelolaan dan bisnis Migas.
Pertamina sebagai National Oil Company telah mengembangkan usaha hulu melalui Merger & Acquisition sejak tahun 2007, dengan maksud meningkatkan cadangan minyak dan gas bumi tidak ada pilihan lain Pertamina mencari dan membeli Blok Migas di dalam negeri dan luar negeri.
Dengan berbekal pengetahuan geologi dan perminyakan di Indonesia Timur, seperti di Blok Migas Berau, Muturi, Wiriagar yang memasok gas di LNG Tangguh dan temuan lapangan migas lainnya di Indonesia Timur, pada tahun 2009 menindaklanjuti tawaran penjualan PI di Blok BMG Australia. Tentu saja target utama pengembangan usaha hulu di Australia adalah mencari dan mengembangkan temuan lapangan gas. Australia dikenal sangat kaya dengan cadangan gas bumi, saat ini tahun 2019 Australia adalah negara pengekspor LNG terbesar di dunia (mengalahkan Qatar dan lainnya).
BLOK BASKER, MANTA, DAN GUMMY (BMG) DI GIPSLAND BASIN AUSTRALIA