Kita tentu tidak pernah bermaksud mengatakan bahwa “fakta objektif tidak pernah ada”. Yang benar, filsafat posmo mengajarkan bahwa tidak ada akses pada kebenaran yang bersifat langsung dan niscaya, karena kita semua dibatasi oleh bahasa. Dan saat kita berbahasa, mau tak mau, bahasa bersifat partikular, tidak pernah objektif.
Dalam tilikan Lee McIntyre (2018), iklim post-truth memiliki akar filosofis pada ide-ide yang mengusung relativisme kebenaran, perspektivisme kebenaran, skeptisisme kebenaran, dan terapan atasnya sebagaimana tampak dalam “sosiologi konstruktivis”. Iklim berpikir ini lalu disebut sebagai Neosofisme.
Sebagaimana kaum sofis masa Yunani Kuno seperti Gorgias dan Protagoras membolak-balikkan iklim berpikir Yunani, para pemikir postmodernisme– yang akarnya bisa dirujuk pada Nietzsche dan Heidegger–akan mempertanyakan soal teori baku kebenaran sebagai “korespondensi antar pikiran dan kenyataan”.
Bersamaan dengan itu, konsep tentang manusia dan pikiran atau rasionya juga dipertanyakan. Apa-apa yang di era modern dianggap jelas dan stabil menjadi goyah. Apa “realitas” itu sendiri juga menjadi dipertanyaan. Dengan pertanyaan-pertanyaan kaum skeptis seperti itu, posisi realis seakan-akan menjadi posisi yang membutuhkan topangan kebenaran transendental, semacam “ada dalam dirinya sendiri” yang menjadi landasan bagi keberadaan sesuatu. Iklim Neosofisme dengan skeptisisme yang akut tampak dalam minat mereka pada retorika.
Segala sesuatu ditangan dekonstruksi bisa dipertanyakan. Fakta bisa jadi hanyalah opini. Apa yang semula dianggap sebagai teori, ternyata di baliknya bekerja ideologi tertentu. Lewat cara berpikir yang dekonstruktif, tak ada sesuatu pun yang jelas dengan sendiri. Tak ada sesuatu yang tidak dikonstruksi.
Pada dirinya sendiri, kritik-kritik atas kebenaran adalah hal yang biasa dan wajar. Sejarah filsafat dipenuhi oleh pertempuran mengenai validitas tidaknya sebuah kebenaran. Namun, duhai posmo! Apa yang terjadi dengan model kritikan posmodernis memang bergerak terlalu jauh. Kebenaran dianggap tidak ada, objektivitas dianggap klaim semu.
Boleh saja banyak yang marah terhadap para posmodernis yang dengan ngawur meruntuhkan segala sesuatunya. Berabad-abad, kita setia dan hormat pada rasio, kebenaran dan ilmu pengetahuan. Berabad-abad kita berjuang melawan ideologi gelap yang sewenang-wenang dan segala bentuk tahayul. Namun saat ini, pada banyak kita justru meruntuhkan itu semua atas nama“kebebasan tafsir”.
Cilaka tiga belas, ide-ide kiri yang radikal ini justru diambil oper oleh kaum kanan radikal. Mereka mempertanyakan kebenaran objektif, kebenaran sains, kebenaran klaim-klaim yang diterima universal selama ini. Wacana posmodernis diperalat guna menyebarluaskan kebohongan-kebohongan kaum kanan radikal. Dan uniknya, mereka yang terlihat kuat keagamaannya justru paling suka mengumbar kebencian dan kebohongan. Maka yang menampak, banyak ke rumah ibadah, banyak pula menebar kebencian.
Ketika ide-ide posmo disergap oleh kaum ekstrem kanan, maka dunia menjadi garang dan menyundut kepanikan. Kita menjadi takut, kekalapan atas nama agama akan melahirkan mafsadah bahkan ifsak al-dimak, perseteruan nan berdarah. Radikalisme yang lalu melahirkan terorisme bisa dilihat sebagai produk dari ‘salah baca’ ini. Padahal sejatinya dengan semangat dan metode dekonstruksi dimaksudkan kepada publik, agar supaya orang mampu berfikir kritis di depan fakta-fakta yang belum terobjektifkan dengan jelas.
Sekarang apa yang harus dilakukan? Mungkin tak sedikit orang yang skeptis atau apatis. Anything goes, biarkan semua berjalan sesuai ‘kodrat’-nya. Tapi bukankah manusia itu pemburu kebenaran (truth seeker) yang dalam sejarah peradabannya manusia mencari kebenaran betapapun harus berperang. Apakah perang atas nama iman atau agama atau ras, pastinya dalam perburuan kebenaran itu tak bebas dari berbagai benturan yang seringkali tragis akibatnya.
(bersambung)
Soffa Ihsan, Penulis hanyalah seorang Marbot di Lembaga Daulat Bangsa (LDB) dan Rumah Daulat Buku (Rudalku), komunitas literasi eksnapiter