Kaum Sofis; Wajahmu Kini!: Senjakala Kebenaran

photo author
- Selasa, 30 Juli 2019 | 20:30 WIB
isis4
isis4


(Sebuah opini oleh: Soffa Ihsan)


Inilah era ‘post truth’. Istilah ini merujuk pada masyarakat yang lebih mempercayai pandangan sendiri dan emoh terhadap fakta sebenarnya. Yang penting berita atau narasi yang muncul memberikan ‘kesenangan’ atau ‘kenyamanan’ bagi pembacanya tanpa harus berpayah-payah menginvestigasi sejauh mungkin demi mencapai ‘kebenaran’. Maka, tiada lagi kebenaran, karena yang ada adalah ‘opini’ dan ‘persepsi’.


Jauh sebelum dunia moderen lahir dengan jumawa, di Yunani Kuno telah muncul sekelompok orang yang nyeleneh. Mereka ini adalah cerdik cendikia yang mengajarkan masyarakat untuk trampil dalam beretorika, sekalipun isi dari retorikanya semrawut, tidak bersandar pada kebenaran.


Ya inilah Sofisme. Sofisme ini lahir berakar dari tradisi berfikir filsafat. Sofisme merujuk pada aliran filsafat dan retorika pada periode Yunani Klasik serta Hellenistik, yang dalam pandangan umum dianggap mengajarkan relativisme moral dan cara berargumentasi yang tampaknya masuk akal, namun fallacious (keliru). Seorang Sofis adalah pengajar yang dikenal pintar, tetapi  bertujuan untuk memutarbalikkan fakta alias mengelabui.


Kaum Sofis muncul sekira tahun 450-380 SM, periode kejayaan Athena setelah dua kali menang perang melawan Persia sampai mulai mundurnya Athena akibat perang saudara melawan Sparta. Fenomena Sofisme kala itu ‘mengguncang’ dunia intelektual. Kaum Sofis adalah guru-guru yang hanya peduli uang dan mendiskreditkan kebijaksanaan tradisional yang serba gratis. Kaum Sofis dianggap mewakili gejala merosotnya moral dan keringnya spekulasi intelektual yang terlepas dari kenyataan, karena pengajaran mereka hanya peduli pada bagaimana memenangkan argumen.


Dan kini, ketika tehnologi informasi mengular, Sofisme berenkarnasi dalam paras baru.  Kebenaran yang biasanya kecocokan antara pikiran dengan kenyataan, maka kita sekarang masuk di era yang aneh. Yang penting membikin pikiran dulu, realitasnya nanti disusulkan dan disesuaikan.  Nah,  ‘Post-truth’ menjadi sohor, kendati istilah itu sebenarnya sudah populer semenjak 1992. Di negeri kita hingga saat ini terjadi ‘disrupsi’ dengan kerapnya kita disuguhi berbagai wacana yang aneh-aneh. Dan lebih anehnya lagi, wacana-wacana kosong tanpa data alias murni retorika ini mendapatkan sambutan luar biasa dari para fanatik. Kebenaran tidak lagi dipersoalkan. Orang lebih merasa nyaman ketika “fakta” ditekuk dan disesuaikan dengan tafsir, opini dan keyakinan pribadi.


Post-truth berakar dalam jiwa manusia sendiri yang mudah jatuh dalam cognitive bias. Manusia ternyata tidak serasional yang dianggap selama ini. Di depan kebenaran-kebenaran yang tidak mengenakkan, manusia cenderung jatuh dalam cognitive bias. Ego kita memiliki mekanisme pertahanan diri, sehingga saat apa yang kita yakini terbukti salah, kita tidak serta merta mengakui kesalahan kita. Ini pula yang disebut filsuf Herbert Marcuse dari madzhab Frankfrut sebagai ‘One Dimensional Man’, manusia yang kehilangan sarwa dimensinya karena menciutkan diri dalam ‘jeruji’  keyakinan yang picik, tanpa kritisisme.


Salah satu cognitive bias adalah cognitive dissonance, yakni ketidakcocokan pengetahuan, namun bisa diharmoniskan. Dalam ungkapan filsuf Jerman Nietzsche, manusia memang butuh “pegangan”. Apa pun akan ia jadikan pegangan, bila kebutuhannya akan pegangan besar. Semakin besar kebutuhannya, semakin fanatik kebenaran dipegang. Dan normal bahwa orang menyebut pegangannya sebagai yang paling benar. Pun kalau itu adalah kesalahan, hoax atau fake news, sejauh itu membuat ia nyaman, maka akan ia sebut sebagai kebenaran.


Post-truth makin ‘erupsi’ seiring makin turunnya peran media koran dan televisi tradisional.  Setiap orang sekarang bisa menjadi penulis, editor dan penerbit untuk apa yang ia pikir benar. Munculnya teknologi dan perkembangan media sosial juga menjadi trigger makin anarkisnya pemberitaan sehingga hoax dan fake news menjadi sesuatu yang dianggap lumrah saja, bahkan ‘kudapan’  harian yang diburu cukup lewat gadget.


Lalu, apa kabar dengan dunia akademis?  Di depan fenomena post truth,  dunia akademis seperti ‘dinistakan’ oleh  ‘para pengamat dadakan’. Hasil riset yang memakan waktu, tenaga, pikiran dan dana yang besar menjadi ‘tak bunyi’  diharibaan nitizen yang memberantakkan cukup dengan ‘gombalan’  yang membuta tanpa ‘akal sehat’. Gelar akademis yang mentereng terpaksa ‘loyo’ tak berkutik bahkan tidak jarang akademikus justru ikut memproduksi berita hoax dan narasi kebencian (hate speech).  Dunia kampus yang diharapkan bisa menjadi penjaga gawang kewarasan rasio lagi-lagi tak berdaya.


Alamak! Sungguh fakta yang ironis. Bila masyarakat sekarang ini bingung dengan soal kebenaran, mereka justru tidak mungkin meminta nasehat kepada para akademikus, karena di dunia akademis sendiri sudah mengidap skeptisisme pada rasio dan kebenaran.


Apakah ini akibat polah tingkah dari  postomodernisme  yang hadir untuk melawan ‘narasi besar’  modernisme? Nama-nama ‘kombatan’ posmo seperti Jean-François Lyotard, Derrida, Michel Foucault, Heidegger dan Friedrich Nietzsche telah  meletakkan fondasi filosofisnya yang lalu menyerbak menjadi ‘gaya hidup’ berbagai bidang.  Ide “dekonstruksi” dari  Derrida yang menyatakan bahwa makna sebuah teks, pun kalau kita merujuk pada pengarang teksnya sendiri, tidak pernah bisa ditentukan.


Apa pun bisa dianggap sebagai “teks” yang bisa dibolak-balik maknanya tanpa pernah sampai pada makna ultima. Akibatnya, tidak ada lagi makna-benar atau makna salah. Yang dipertanyakan dalam metode dekonsktruksi memang kebenaran itu sendiri! Setiap interpretasi atas teks dianggap sah dan valid, tidak ada yang benar dan salah. Semua hanyalah narasi-narasi yang valid dalan konteks konstruksinya sendiri, dan tidak ada urusannya dengan kebenaran. Keyakinan posmodernis pada pecahnya kebenaran ini bisa diasalkan pada epistemologi perspektivis Nietzsche yang ditafsir secara posmo.


Dalam kacamata posmodernisme  tidak ada kebenaran objektif,  tiap klaim akan kebenaran objektif sebenarnya menyembunyikan kepentingan ideologis politik tertentu dari orang yang mengatakannya. Kebenaran dinyatakan lewat bahasa, padahal bahasa adalah cermin dari relasi dominasi dan kuasa. Dengan demikian, tiap klaim kebenaran tak lain hanyalah strategi dominasi atau taktik ‘bullying’ dari pemegang kekuasaan kepada orang-orang yang lemah. Mengingat kebenaran objektif tidak ada, maka bila ada yang mengklaim kebenaran, ia mewakili kepentingan dominan yang hendak menindas mereka yang lemah.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Administrator

Tags

Rekomendasi

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB
X