Politik Identitas dan Kabinet Rekonsiliasi

photo author
- Jumat, 5 Juli 2019 | 04:23 WIB
Screenshot_2019-07-05-04-15-27-371_com.android.chrome
Screenshot_2019-07-05-04-15-27-371_com.android.chrome

“Pemimpin harus punya gagasan konseptual dan paradigmatik,” teriak Rocky Gerung di salah satu stasiun TV nasional.


Maksud Rocky, paling tidak pemimpin harus punya gagasan, minimal seperti Gubernur DKI Jakarta yang hendak membuat seragam oranye biar kantor milik Pemda ada warnanya. Juga, serupa dengan Donald Trump yang punya rencana buat parade maha besar pada Hari Kemerdekaan Amerika, 4 Juli 2019, dengan barisan tank di jalanan, hujan kembang api, dan aungan pesawat tempur di udara. Sampai-sampai, Trump menganggarkan biaya 350 miliar buat pidato politik yang akan dihadiri oleh para pendukungnya itu. Banyak orang menilai Trump boros anggaran dan kampanye politik pakai militer.


Di momentum ini, Trump mengusung moto baru yaitu ‘Salute to America’, di mana jargon ‘Make America Great Again’ yang menjadi slogan politiknya telah ditinggal. Meski ditiru oleh Prabowo untuk ‘mengembalikan kejayaan Indonesia’ dalam kampanyenya, slogan ini mengindikasikan bahwa Amerika sedang dalam kejatuhan sehingga harus jadi hebat kembali. Sementara, ‘Salut buat Amerika’ ingin menunjukkan bahwa Amerika memang sudah hebat sehingga parade ini ingin menunjukkan bahwa Amerika adalah negara hebat.


Orang bijak sering berkata, orang hebat tidak perlu menunjukkan kehebatannya karena orang lain sudah bisa melihat kebolehannya secara otentik. Adam Smith (1759), melalui konsep impartial spectator within (lihat buku The Theory of Moral Sentiments), menyebut bahwa orang akan dilihat oleh orang lain seperti apa yang seharusnya (what ought to be) dari apa-apa yang diperbuat oleh tangannya. Bukan karena dia berbuat untuk mendapatkan pujian, tetapi pujian itu sendiri sudah menjadi bagian dari dirinya atau sudah layak atas pujian tersebut (praise worthiness). Maka, parade militer Trump tidak luput dari perasaan inferior atas kemunduran peradabannya sendiri. Ia mungkin ingin menunjukkan bahwa militer Amerika masih yang terkuat di dunia dan parade militernya bisa lebih besar dari Korea Utara. Apa? Amerika bersaing dengan Korea Utara?


Ada identitas yang ingin diciptakan oleh Trump untuk membentuk dirinya sebagai orang yang akan mengembalikan atau mempertahankan kejayaan Amerika. Mungkin dia sudah kehilangan momentum politik identitas yang dimainkannya pada saat Pilpres periode pertama di mana ia berjuang mengembalikan kekuasaan mayoritas atau ‘supremasi kulit putih’ di pemerintahan dan industri di seluruh Amerika. Ia ingin ‘mengusir’ semua imigran dan pekerja non kulit putih dari Amerika dan mengawasi pergerakan Muslim di sana, padahal Amerika terkenal dengan julukan melting pot country dan land of freedom.


Politik identitas jelas menguntungkan bagi Trump. Begitu juga dengan parade militer yang dirayakan atas nama dirinya. Gedung Putih sudah menyiapkan ribuan undangan VIP bagi para donor dan orang-orang tertentu yang memiliki kepentingan dengan Trump. Anehnya, tidak ada undangan yang dilayangkan buat para pengurus Partai Demokrat yang menjadi rivalnya.


Lantas, dalam konstruksi politik identitas di Indonesia, apa keuntungannya dan siapa sebenarnya yang diuntungkan?


Secara umum, politik identitas diciptakan sebagai instrumen kanalisasi suara kelompok tertentu untuk dukungan politik. Dalam hal ini, Islam sebagai agama mayoritas, bisa diruncingkan sentimen identitasnya untuk diarahkan pada salah satu kekuatan politik. Koaliasi Adil Makmur mendapatkan manfaat besar dari konstruksi politik identitas dalam isu kriminalisasi ulama, penista ulama, ikut ijtima’ ulama, memihak partai Allah, dan melawan partai Setan. Kemudian, partai yang diuntungkan dalam benturan dialektis tersebut hanya 2 menurut saya, Gerindra dan PKS.


Gerindra diuntungkan dari figur capres dan cawapres yang sama-sama berasal dari partai ini, sementara PKS ambil untung dari identifikasi sebagai partai pejuang Islam. Makanya, kedua partai tersebut sangat getol merancung sentimen identitas yang akan berlabuh bersama partainya. Partai lain dalam koalisinya hanya gigit jari, tidak dapat apa-apa, malah konstituennya tergerus lantaran masyarakat hanya terkonsentrasi melihat figur dan isu. Figur milik Gerindra dan isu milik PKS sebagai partai yang terlihat ‘paling’ Islami. Apalagi, simbol ke-Islaman PKS diperkuat oleh sosok Habib Salim Segaf Al-Jufri yang berhasil menggaet sederet nama seperti Habib Rizieq, Haikal Hasan, Yusuf Martak, Slamet Maarif, Ustadz Abdul Somad, dan lain-lain yang tentu saja jadi magnet bagi kelompok Gerakan 212, FPI, FUI, sampai para jamaah dan simpatisan HTI. Tadinya, kelompok-kelompok Islam ini cenderung melirik PBB, tetapi setelah PBB hengkang, PKS jadi ‘rumah bersama’.


Oleh karena itu, isu rekonsiliasi misalnya, cukup beralasan bagi PAN dan Demokrat untuk ‘cek toko sebelah’ karena di toko asalnya sudah tidak ada yang bisa dijual. Dengan pindah ke Koalisi Indonesia Kerja, keduanya bisa bantu-bantu bekerja, paling tidak bisa ikut ‘nimbrung’ berjualan walau cuma sedikit ‘bagian’. Sosok pribadi Ketua Umum PAN bisa menjadi jaminan diterima oleh koalisi pemerintah, sedangkan SBY, menurut saya, akan sangat koperatif demi anaknya AHY bisa diterima oleh Jokowi sang pemegang hak periogratif.


“Kalau tidak masuk pemerintahan, AHY nggak bakal jadi apa-apa jika hanya mengandalkan posisi di partai, kecuali ia nanti didapuk sebagai Ketua Umum,” kata seorang pengacara yang diskusi dengan saya.


Maklum, harapan AHY sebagai penerus perjuangan trah SBY ditentukan sekarang apakah turut mengabdi di pemerintahan atau sebagai kekuatan extra parlementer. Akan tetapi, pilihan kedua bukanlah tipikal partai yang pernah berkuasa seperti Demokrat, lagipula tidak akan mendapatkan apa-apa.


Maklum, pangsa konstituen oposisi sudah dikuasai oleh Gerindra dan PKS. Malah kedua partai ini akan rugi besar jika nekad merapat ke pemerintah. Alasannya itu tadi, politik identitas berhasil membuat oposisi biner antara pendukung dan pembenci Jokowi-Amin. Suara para pembenci cukup signifikan untuk mengamankan Pilkada ke depan atau bahkan Pemilu 2024. Apabila Gerindra berhasil dibujuk masuk kabinet, misalnya, PKS menjadi satu-satunya partai pengendali suara opisisi. Maka, PKS perlu juga merayu Gerindra untuk menyebrang, sementara PKS panen besar. Kalau PKS, saya yakin tidak sangat ‘dungu’ untuk berbagi kue dengan Jokowi-Amin.


Kehadiran AHY di kabinet, sebenarnya, bisa jadi ancaman besar bagi para pendukung Jokowi-Ma’ruf ke depan. Maka, pilihan logisnya, dalam pikiran saya, AHY akan dikasi saham dalam pemerintahan, tapi tidak terlalu bernas.


Pilihan untuk merangkul lawan adalah sebuah keharusan bagi PDIP sebagai pemenang pemilu baik eksekutif maupun legislatif. Pemenang harus membuka tangan selebar-lebarnya supaya dapat simpati dan apresiasi dari seluruh rakyat seantero negeri. Ini alasan politisnya, alasan sosialnya tentu saja untuk memulihkan friksi, menjahit luka, mengubur pilu, dan merajut kembali benang persatuan yang kusut nan lusuh selama pemilu. Soal jahit-menjahit, partai koalisi pemerintah lainnya tidak ingin terlalu banyak corak yang justru jadi ‘bias warna’.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Administrator

Tags

Rekomendasi

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB
X