Jakarta, KlikAnggaran.com - Upaya bersama mengefisienkan konsumsi energi harus didukung dengan strategi tepat yang dilengkapi dengan jadwal pelaksanaan dan pencapaian yang bisa tergambar secara jelas. (Abdul Ghopur, 2012).
Di samping itu, penting adanya upaya melakukan percepatan revisi Undang-Undang no. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas (MIGAS) dalam rangka memperjelas posisi dan kepastian hukum, serta menjawab keraguan baik di kalangan pekerja SKK MIGAS maupun investor di sektor hulu migas, karena status lembaga SKK MIGAS masih bersifat sementara. Meski tidak semudah membalik telapak tangan, namun upaya ini perlu dilakukan.
(Baca juga : Perlukah Revisi UU MIGAS? Bagian 1)
Mengingat besarnya kepentingan bangsa Indonesia dalam pengelolaan energi minyak dan gas bumi serta energi lainnya, untuk mendorong peningkatan industri dan ekonomi nasional, dalam rangka pembangunan ketahanan energi nasional untuk kelangsungan hidup bangsa Indonesia di masa-masa mendatang. Tidak bisa lagi diperlakukan sebagai komoditi untuk mendapatkan penerimaan negara bahkan dagangan semata. Sebab, selama ini ada anggapan masyarakat bahwa kegiatan sektor MIGAS ada kecenderungan yang mengarah pada liberalisasi.
Oleh sebab itu, upaya percepatan revisi UU MIGAS perlu kita kawal dan awasi bersama, baik pemerintah selaku regulator, dan DPR yang mewakili masyarakat atau konsumen (end user). Bahwa misal, revisi UU Migas harus disesuaikan dengan dinamika industri migas global saat ini. Tapi, bukan maksudnya harga MIGAS harus sesuai harga pasar (mengejar nilai keekonomian). UU MIGAS yang baru harus mampu menjawab masalah MIGAS saat ini secara komprehensif. Pasalnya, saat ini ketersediaan MIGAS tidak lagi berada dalam kondisi geologi yang mudah dijangkau.
Saat ini mencari energi yang bersumber dari MIGAS semakin sulit (bukan karena tidak ada ketersediaan). Kini era sumber MIGAS telah bergeser ke lapangan marginal, lepas pantai, termasuk laut dalam, tight dan shale oil dan gas serta enhanced oil recovery. Kesulitan diperparah dengan minimnya infrastruktur. Padahal, produksi migas terus menurun dan rasio pengembalian cadangan sangat rendah.
Oleh karena itu, urgensi percepatan revisi UU MIGAS perlu memperhatikan beberapa hal di antaranya:
Pertama, pembenahan manajemen MIGAS di sektor hulu, pemerintah harus menentukan badan usaha seperti apa yang akan melakukan fungsi ke depannya.
Kedua, pilihan model kontrak MIGAS. Yakni, apakah mengubah PSC atau tetap. Sebab, jika dilihat dari dasar hukumnya, yang ada bukan kontrak, tapi izin.
Ketiga, keistimewaan (previllage) bagi perusahaan MIGAS nasional dalam hal ini BUMN. Keistimewaan apa yang akan didapat oleh BUMN sektor energi dan pemerintah.
Keempat, mengenai kesehatan, keamanan, dan lingkungan (rumah sakit dan gedung sekolah bagi masyarakat sekitar).
Kelima, perihal petroleum fund yang menjadi wewenang menteri keuangan. Dimana, anggaran yang tersedia bisa dialihkan kepada sektor yang lebih produktif.
Keenam, selain pembenahan di sektor hulu, sektor hilir wajib pula dibenahi, dimana Indonesia sangat kekurangan storage dan kekurangan sumber daya manusia (SDM), atau manajemen yang mengurusi masalah di hilir. Manajemen di sektor hilir sangat penting untuk merancang strategi untuk pasar domestik.