Cerita Busuk dari Seorang Bandit

photo author
- Jumat, 29 Juli 2016 | 03:29 WIB
images_berita_Jul_16_Cerita-Busuk
images_berita_Jul_16_Cerita-Busuk

Fredi melanjutkan lagi. “Dan, kenapa hanya saya yang dibongkar? Ke mana orang-orang itu? Dalam hitungan saya selama beberapa tahun kerja menyelundupkan narkoba, saya sudah memberi uang 450 Miliar ke BNN. Saya sudah kasih 90 Milyar ke pejabat tertentu di Mabes Polri. Bahkan saya menggunakan fasilitas mobil TNI bintang 2, di mana si jendral duduk di samping saya ketika saya menyetir mobil tersebut dari Medan sampai Jakarta dengan kondisi di bagian belakang penuh narkoba. Perjalanan saya aman tanpa gangguan apapun.”

“Saya prihatin dengan pejabat yang seperti ini. Ketika saya ditangkap, saya diminta untuk mengaku dan menceritakan di mana dan siapa bandarnya. Saya bilang, investor saya anak salah satu pejabat tinggi di Korea (saya kurang paham, korut apa korsel- HA). Saya siap nunjukin di mana pabriknya, dan saya pun berangkat dengan petugas BNN (tidak jelas satu atau dua orang). Kami pergi ke Cina sampai ke depan pabriknya. Lalu, saya bilang kepada petugas BNN, mau ngapain lagi sekarang? Dan, akhirnya mereka tidak tahu, sehingga kami pun kembali.”

“Saya selalu kooperatif dengan petugas penegak hukum. Kalau ingin bongkar, ayo bongkar. Tapi, kooperatif-nya saya dimanfaatkan oleh mereka. Waktu saya dikatakan kabur, sebetulnya saya bukan kabur. Ketika di tahanan, saya didatangi polisi dan ditawari kabur, padahal saya tidak ingin kabur, karena dari dalam penjara pun saya bisa mengendalikan bisnis saya. Tapi, saya tahu polisi tersebut butuh uang, jadi saya terima aja. Tapi, saya bilang ke dia kalau saya tidak punya uang. Lalu, polisi itu mencari pinjaman uang kira-kira 1 Miliar dari harga yang disepakati 2 Miliar. Lalu, saya pun keluar. Ketika saya keluar, saya berikan janji setengahnya lagi yang saya bayar. Tapi, beberapa hari kemudian saya ditangkap lagi. Saya paham kenapa saya ditangkap lagi, karena dari awal saya paham dia hanya akan memeras saya.”

Freddy juga mengekspresikan bahwa dia kasihan dan tidak terima jika orang-orang kecil seperti supir truk yang membawa kontainer narkoba yang justru dihukum, bukan si petinggi-petinggi yang melindungi. Kemudian saya bertanya ke Freddy di mana saya bisa cerita tentang ini? Saya juga bertanya, “Kenapa Anda tidak bongkar cerita ini?”

Lalu, Freddy menjawab, “Saya sudah cerita ke lawyer saya. Kalau saya mau bongkar, ke siapa? Makanya saya penting ketemu Pak Haris, biar Pak Haris bisa menceritakan ke publik luas. Saya siap dihukum mati, tapi saya prihatin dengan kondisi penegak hukum saat ini. Coba Pak Haris baca saja di pledoi saya di pengadilan, seperti saya sampaikan di sana.”

Lalu, saya pun mencari pledoi Freddy Budiman. Tetapi, pledoi tersebut tidak ada di website Mahkamah Agung. Yang ada hanya putusan yang tercantum di website tersebut. Dalam putusan tersebut juga tidak mencantumkan informasi yang disampaikan Freddy, yaitu adanya keterlibatan aparat negara dalam kasusnya.

Kami di KontraS mencoba mencari kontak pengacara Freddy. Tetapi menariknya, dengan begitu kayanya informasi di internet, tidak ada satu pun informasi yang mencantumkan di mana dan siapa pengacara Freddy. Dan, kami gagal menemui pengacara Freddy untuk mencari informasi yang disampaikan, apakah masuk ke berkas Freddy Budiman sehingga bisa kami mintakan informasi perkembangan kasus tersebut.

Haris Azhar (2016)

 

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Kit Rose

Tags

Rekomendasi

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB
X