Jakarta, KlikAnggaran.com - Eksekusi mati atas 4 narapidana telah dilakukan oleh pemerintah Joko Widodo di Nusakambangan pada Jumat dini hari (29/07) tadi. Di antaranya adalah Humprey Jefferson (Nigeria), Seck Osmane (Nigeia), Michael Titus Igweh (Nigeria), dan Freddy Budiman (Indonesia). Di tengah kontroversi selama persidangan berlangsung hingga terlaksananya eksekusi mati tersebut, beredar sebuah kesaksian tertulis yang cukup mengejutkan. Terlepas penting dan tidaknya kesaksian seseorang yang mengaku pernah bertemu dengan Freddy Budiman di Lapas Nusa Kambangan pada 2014 ini, mungkin ada baiknya kita baca. Berikut kesaksian Haris Azhar yang masuk ke meja redaksi KlikAnggaran.
Di tengah proses persiapan eksekusi hukuman mati yang ketiga di bawah pemerintahan Joko Widodo, saya meyakini bahwa pelaksanaan ini hanya untuk ugal-ugalan popularitas. Mungkin untuk upaya keadilan. Hukum yang seharusnya bisa bekerja secara komprehensif menyeluruh dalam menanggulangi kejahatan ternyata hanya mimpi. Kasus penyeludupan narkoba yang dilakukan Freddy Budiman, sangat menarik disimak, dari sisi kelemahan hukum, sebagaimana yang saya sampaikan di bawah ini.
Di tengah-tengah kampanye Pilpres 2014 dan kesibukan saya berpartisipasi memberikan pendidikan HAM untuk masyarakat di masa tersebut, saya memperoleh undangan dari sebuah organisasi gereja. Lembaga ini aktif melakukan pendampingan rohani di Lapas Nusa Kambangan (NK). Melalui undangan gereja ini, saya jadi berkesempatan bertemu dengan sejumlah narapidana dari kasus teroris sampai korban kasus rekayasa yang dipidana hukuman mati. Antara lain saya bertemu dengan John Refra alias John Kei, Freddy Budiman, terpidana mati kasus narkoba, kemudian Rodrigo Gularte, narapidana WN Brasil yang dieksekusi pada gelombang kedua (April 2015).
Saya patut berterimakasih pada Bapak Sitinjak, Kepala Lapas NK (saat itu) yang memberikan kesempatan bisa berbicara dan bertukar pikiran dengannya soal kerja-kerjanya. Menurut saya Pak Sitinjak sangat tegas dan disiplin dalam mengelola penjara. Bersama stafnya beliau melakukan sweeping dan pemantauan terhadap penjara dan narapidana. Pak Sitinjak hampir setiap hari memerintahkan jajarannya melakukan sweeping kepemilikan HP dan senjata tajam. Bahkan, saya melihat sendiri hasil sweeping tersebut, ditemukan banyak sekali HP dan sejumlah senjata tajam.
Tetapi, malang bagi Pak Sitinjak. Di tengah kerja kerasnya membangun integritas penjara yang dipimpinnya, termasuk memasang dua kamera selama 24 jam memonitor Freddy Budiman, beliau bercerita, pernah beberapa kali diminta pejabat BNN yang sering berkunjung ke Nusa Kambangan agar mencabut dua kamera yang mengawasi Freddy Budiman tersebut.
Saya mengangap ini aneh, hingga muncul pertanyaan, kenapa pihak BNN berkeberatan adanya kamera yang mengawasi Freddy Budiman? Bukankah status Freddy Budiman sebagai penjahat kelas “kakap” justru harus diawasi secara ketat? Pertanyaan saya ini terjawab oleh cerita dan kesaksian Freddy Budiman sendiri.
Menurut ibu pelayan rohani yang mengajak saya ke NK, Freddy Budiman memang berkeinginan bertemu dan berbicara langsung dengan saya. Pada hari itu menjelang siang, di sebuah ruangan yang diawasi oleh Pak Sitinjak, dua pelayan gereja, John Kei, dan Freddy Budiman bercerita hampir 2 jam, tentang apa yang ia alami, dan kejahatan apa yang ia lakukan.
Freddy Budiman mengatakan kurang lebih begini pada saya. “Pak Haris, saya bukan orang yang takut mati, saya siap dihukum mati karena kejahatan saya. Saya tahu resiko kejahatan yang saya lakukan. Tetapi, saya juga kecewa dengan para pejabat dan penegak hukumnya. Saya bukan bandar, saya adalah operator penyelundupan narkoba skala besar. Saya memiliki bos yang tidak ada di Indonesia. Dia (Boss saya) ada di Cina. Kalau saya ingin menyeludupkan narkoba, saya tentunya acarain (atur) itu. Saya telepon polisi, BNN, dan Bea Cukai. Orang-orang yang saya telpon itu semuanya nitip (menitip harga). Menurut Pak Haris, berapa harga narkoba yang saya jual di Jakarta yang pasarannya 200.000 - 300.000 itu?”
Saya menjawab 50.000.
Fredi langsung menjawab, “Salah. Harganya hanya 5000 perak keluar dari pabrik di Cina, makanya saya tidak pernah takut jika ada yang nitip harga ke saya. Ketika saya telepon si pihak tertentu, ada yang nitip Rp 10.000 per butir, ada yang nitip 30.000 per butir, dan itu saya tidak pernah bilang tidak, selalu saya okekan. Kenapa, Pak Haris?”
Fredy menjawab sendiri. “Karena saya bisa dapat per butir 200.000. Jadi kalau hanya membagi rejeki 10.000- 30.000 ke masing-masing pihak di dalam institusi tertentu, itu tidak ada masalah. Saya hanya butuh 10 Miliar, barang saya datang. Dari keuntungan penjualan, saya bisa bagi-bagi puluhan miliar ke sejumlah pejabat di institusi tertentu.”
Fredy melanjutkan ceritanya. “Para polisi ini juga menunjukkan sikap main di berbagai kaki. Ketika saya bawa itu barang, saya ditangkap. Ketika saya ditangkap, barang saya disita. Tapi, dari informan saya, bahan dari sitaan itu juga dijual bebas. Saya jadi dipertanyakan oleh Bos saya (yang di Cina). Katanya udah deal sama polisi, tapi kenapa lo ditangkap? Udah gitu kalau ditangkap kenapa barangnya beredar? Ini yang main polisi atau lo?"
Menurut Freddy, “Saya tau Pak, setiap pabrik yang bikin narkoba, punya ciri masing-masing, mulai bentuk, warna, rasa. Jadi kalau barang saya dijual, saya tahu, dan itu ditemukan oleh jaringan saya di lapangan.”