Menghilangkan Prasangka: Langkah Awal Menghargai Perbedaan
Sebagai bangsa dengan kondisi masyarakat yang beragam, gesekan atau konflik pasti akan terjadi. Kenyataan yang ada membuktikan bahwa perbedaan tersebut tidak dapat dihilangkan khususnya pada masyarakat multikultural. Dalam konteks ini, Manneke Budiman menyatakan pendapatnya, “Jika yang diharapkan dalam masyarakat multikutural adalah harmoni dan akhir dari konflik sosial, sama saja kita hidup dalam imajinasi yang terlalu ideal untuk menjadi nyata”. Kalimat tersebut mengandung makna bahwa harmonisasi atau keselarasan bukanlah tujuan dari masyarakat multikultural, melainkan kecakapan dalam memanajemen konflik yang baik karena adanya perbedaan tersebut. Memang, perlu diakui bahwa perbedaan merupakan sebuah keniscayaan dalam lingkup masyarakat yang beragam. Namun, tidak ada salahnya jika kita tetap optimis bahwa harmonisasi dalam masyarakat multikultur di Indonesia dapat tercipta. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menciptakan kondisi tersebut adalah dengan mengurangi atau bahkan menghilangkan prasangka terhadap identitas kelompok yang berbeda. Penghilangan prasangka tersebut dapat digunakan sebagai langkah awal untuk menghargai perbedaan yang ada di Indonesia.
Penghilangan atau pengurangan prasangka merupakan salah satu upaya dalam memanajemen konflik. Upaya tersebut dapat di awali dari diri kita sendiri. Dengan mengurangi atau bahkan menghilangkan prasangka diri sendiri terhadap orang lain, terhadap suku, budaya, atau agama yang berbeda, itu membuktikan bahwa kita telah mampu menerima keberagaman yang ada di dalam masyarakat. Adanya konsep pendidikan multikultural sebagai salah satu model pendidikan yang mengusung ideologi untuk memahami, menghormati, dan menghargai keberagaman secara ekonomi, sosial, budaya, etnis, bahasa, maupun agama patut kita apresiasi. Pun hadirnya lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang fokus utamanya pada toleransi keberagaman juga perlu kita akui peranan dan fungsinya. Namun, semua itu tidak akan terasa manfaatnya jika dari dalam diri kita sendiri belum mau untuk menghilangkan prasangka tersebut. Prasangka itu akan tetap ada jika kita selaku agen perubahan dan perdamaian belum mampu menetralkan persepsi terhadap identitas kelompok lain yang berbeda. Sebagai contoh, ada seorang guru yang sedang mengajarkan konsep-konsep mulitikultural untuk siswa-siswa di kelasnya. Akan tetapi, konsep itu tidak akan berhasil disampaikan atau diterapkan kepada siswa-siswanya jika guru tersebut belum mampu menghilangkan prasangka atas dirinya sendiri terhadap latar belakang suku, budaya, adat istiadat, maupun agama dari para siswa, rekan seprofesi, maupun kondisi lingkungan sekolahnya.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa bukan keberagaman yang menyebabkan konflik antarmasyarakat selama ini, melainkan adanya prasangka yang dimiliki oleh setiap individu atau kelompok masyarakat. Jika antaranggota masyarakat yang berbeda suku, budaya, maupun agama saling berprasangka satu sama lain, tak dapat dimungkiri bahwa yang akan terjadi adalah konflik. Selanjutnya, apabila konflik tersebut tidak dapat diselesaikan dengan baik, konflik tersebut akan berimbas pada pecahnya rasa persatuan dan kesatuan bangsa.