Pendahuluan
Indonesia merupakan sebuah bangsa yang majemuk. Kemajemukan ini menjadikan Indonesia kaya akan berbagai ragam suku, budaya, adat istiadat, bahasa, maupun agama. Idealnya, keberagaman tersebut adalah aset yang patut untuk dipertahankan. Akan tetapi, faktanya, keberagaman tersebut seringkali menimbulkan gesekan atau konflik-konflik horizontal antarkelompok yang berbeda.
Kerentanan terjadinya konflik atas keberagaman ini tidak bisa kita mungkiri karena kenyataannya hidup di dalam masyarakat multikultur tidak menjamin adanya interaksi sosial yang sehat. Perbedaan akan selalu ada dan jika perbedaan tersebut tidak dapat dikelola dengan baik, hasilnya adalah prasangka yang berimbas pada konflik sosial di masyarakat. Beberapa ahli psikologi sosial (dalam Sudibyo dkk, 2001) mendefinisikan prasangka sebagai sikap (biasanya negatif) yang ditujukan kepada anggota kelompok tertentu yang dilakukan semata-mata berdasarkan keanggotaan mereka dalam kelompok tersebut. Dengan kata lain, prasangka merupakan representasi yang dibuat oleh sekelompok orang dari identitas tertentu tentang identitiasnya sendiri (self) dan identitas pihak lain (other) dengan tujuan untuk mempertahankan hierarki identitas dalam masyarakat, baik secara sadar maupun tidak sadar.
Prasangka, jika sudah sampai pada taraf yang ekstrem, akan memunculkan konflik bahkan kebencian yang sangat dalam terhadap orang asing. Bahkan tidak segan-segan, orang yang berprasangka akan menganggap orang yang diprasangkainya sebagai musuh yang harus disingkirkan. Dalam konteks Indonesia, orang asing di sini dapat pula dimaknai sebagai orang yang berbeda suku, budaya, adat istiadat, agama, dan sejenisnya. Selama ini, kebanyakan orang beranggapan bahwa penyebab utama dari sebuah konflik adalah kesenjangan ekonomi atau sistem politik yang represif, tetapi kita juga harus melihat bahwa kebencian yang terjadi akibat perbedaan tersebut merupakan salah satu dampak dari adanya prasangka. Bahkan pada ruang yang lebih luas, prasangka dapat memecah-belah persatuan dan kesatuan bangsa jika tidak ditindaklanjuti dengan baik.
Masih adanya konflik antarsuku, budaya, adat istiadat, maupun agama sebagai akibat dari prasangka mengisyaratkan bahwa makna dari semboyan Bhineka Tunggal Ika yang mengekspresikan persatuan dalam keragaman dan keragaman dalam persatuan belum dapat dimaknai secara utuh. Data yang diperoleh Indonesia Police Watch menyatakan bahwa 27 dari 33 provinsi di Indonesia diterjang konflik sosial sepanjang tahun 2013. Hal tersebut membuktikan bahwa keberagaman di Indonesia masih rentan konflik. Oleh karena itu, benar atas apa yang dinyatakan oleh Manneke Budiman (2003) bahwa kemajemukan budaya di Indonesia masih menjadi sebuah kendala daripada aset dalam proses nation-building. Kendala tersebut dapat dilihat dari banyak dan meratanya konflik sosial yang masih terjadi di Indonesia.
Lima Tingkatan Prasangka
Prasangka merupakan salah satu faktor pencetus konflik sosial yang ada di masyarakat. Dalam tingkatan yang lebih tinggi dan tanpa adanya manajemen konflik yang baik, prasangka ini dapat merusak persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Prasangka dapat membuat masyarakat enggan memahami keragaman ataupun perbedaan yang ada. Akibatnya, terjadilah penggeneralisasian terhadap kelompok tertentu (suku, budaya, atau agama) secara negatif. Bahkan, secara lebih buruk, prasangka tersebut dapat dikonkretkan dalam bentuk perilaku atau tindakan yang diskriminatif. Jika prasangka ini dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu sebagai media provokasi, tidak menutup kemungkinan akan berujung pada tindakan yang anarkis.
Berkaitan dengan hal tersebut, adanya prasangka ini dapat terjadi karena dua sebab. Pertama, prasangka lahir dari kondisi ketidaktahuan manusia. Karena cemas akan ketidaktahuannya, manusia seringkali membangun penafsirannya sendiri dan membuat kategori-kategori atas alam dan manusia lain. Namun, prasangka yang dibuatnya itu dapat berkurang seiring dengan usaha manusia itu untuk terus memperbarui pengetahuan dan penafsirannya secara objektif. Kedua, prasangka dapat lahir dari kondisi ketidakadilan sosial maupun ekonomi antarkehidupan manusia. Dalam konteks ini, didapatlah istilah mayoritas dan minoritas. Konflik terjadi ketika kaum mayoritas atau minoritas tersebut saling membangun hierarki sosial dalam masyarakatnya dan menciptakan prsangkanya masing-masing terhadap kelompok yang berbeda dengannya.
Gordon Allport (1954), seorang ahli psikologi sosial, menggolongkan prasangka dalam lima tingkatan. Prasangka tingkat pertama disebut dengan istilah antilocution. Beberapa indikator yang merujuk pada tingkatan ini antara lain, adanya pandangan negatif terhadap identitas kelompok tertentu, mempermainkan kelompok tertentu, misalnya, dalam bentuk gurauan, lelucon, basa-basi, anekdot, serta berbagai ucapan klise dalam pergaulan hari-hari yang bersifat menyindir atau menertawakan kelompok identitas tertentu; menunjukkan perasaan tidak suka terhadap kelompok identitas tertentu. Meskipun terlihat sebagai gurauan, prasangka ini dapat menjadi serius ketika sudah menjadi alasan bagi orang untuk mengambil tindakan sosial tertentu. Jika tindakan sosial yang diambilnya adalah penghindaran, berarti prasangka tersebut sudah masuk ke dalam kategori prasangka tingkat kedua, yakni avoidance. Selain melakukan penghindaran, indikator yang merujuk pada tingkatan ini sampai pada tahap memalingkan muka apabila bertemu dengan orang dengan latar belakang suku, budaya, maupun agama yang berbeda bahkan sampai menolak pertolongannya. Salah satu contoh dari prasangka tingkat kedua ini, misalnya, saya mempunyai tetangga orang Papua. Karena saya terpengaruh oleh prasangka bahwa orang Papua itu galak, saya akan menghindarinya dalam pergaulan sosial, memalingkan muka ketika berpapasan dengannya, bahkan saya tidak ingin berteman lebih dekat atau kenal sekadarnya.Contoh tersebut merupakan salah satu contoh penghindaran dengan alasan perbedaan etnis.
Selanjutnya adalah prasangka tingkat ketiga yang diistilahkan dengan discrimination. Prasangka ini berwujud tindakan sosial yang lebih sistematis dan terorganisasi. Indikator yang dapat dilihat dalam tingkatan ini, antara lain memusuhi identitas kelompok tertentu dan tidak mau menolong apabila kelompok tersebut mendapat musibah. Sebagai contoh, dalam sebuah lingkungan atau kompleks perumahan, ada rumah-rumah penduduk yang sengaja dipisah-pisahkan berdasarkan suku atau agama tertentu. Dengan kata lain, ada wilayah-wilayah perumahan yang khusus didiami oleh sekelompok orang dengan latar belakang etnis Jawa saja, etnis Sunda saja, etnis Batak saja, etnis Betawi saja, dan sebagainya. Ketika salah satu dari kelompok yang berbeda tersebut mengalami kesulitan, kelompok yang lain enggan untuk memberikan pertolongannya. Jika prasangka tahap ini sampai ada di masyarakat kita saat ini, berarti kita berhasil melestarikan nilai-nilai pemerintahan kolonial yang diterapkan selama mereka menjajah Indonesia. Contoh lain dari adanya pelangengan nilai-nilai kolonial tersebut, seperti dibuatnya kebijakan politik yang diambil berdasarkan prasangka ras atau etnis semacam membedakan warganegara Indonesia berdasarkan kategori pribumi dan nonpribumi atau masih saja membedakan antara orang Indonesia asli dengan orang keturunan Cina yang sudah bertahun-tahun tinggal dan menjadi warga negara Indonesia (WNI).
Tingkatan prasangka yang keempat adalah physical attack. Indikator yang dapat dilihat dari prasangka ini antara lain sampai mampu mengajak berkelahi bahkan memukul kelompok yang memiliki identitas yang berbeda dengan kelompoknya. Dengan kata lain, prasangka ini dapat berwujud serangan fisik atau tindak kekerasan. Kekerasan fisik ini dapat dilakukan secara perseorangan, kelompok, maupun massal. Kerusuhan massal yang terjadi selama masa-masa perpindahan kekuasaan dari Orde Baru menuju Reformasi merupakan contoh konkret dari prasangka ini. Perbedaan agama, ras, dan etnis memiliki pengaruh kuat dalam mendorong terjadinya tindak kekerasan dalam peristiwa tersebut.
Tingkatan prasangka yang terakhir adalah extermination. Jika dibandingkan dengan empat tahapan sebelumnya, prasangka pada tingkat ini merupakan wujud prasangka yang paling ekstrem. Indikator yang dapat dilihat pada tingkat ini antara lain pengusiran bahkan sampai pada tahap penghapusan etnis tertentu. Genosida merupakan salah satu contoh dari prasangka ini. Dalam genosida, seluruh kelompok identitas tertentu dibantai atau diusir oleh kelompok lain yang lebih berkuasa.