Tidak ada sesuatu pun di dunia ini apalagi kejahatan, yang sempurna. Bagi yang mengaku, saya Pancasilais, tentu sependapat jika kesempurnaan milik Tuhan semata. Tentu termasuk malinger kali ini.
Absurd bingiiiit. Masak sih, tiang nabrak listrik. Malinger kali ini - yang diperagakan Novanto - memang berlebihan/kelewatan. Akibatnya, insentif eksternal yang diharapkan dari lakon malingernya - berupa simpati atau pengertian, dan bebas dari tuntutan hukum, gagal total. Justru sebaliknya, menuai panen raya berupa antipati, sinisme, dan kebencian. Di balik semua itu, publik justru memanen atau memperoleh keyakinan sendiri, Novanto memang sedang berupaya lari dan menghindar dari apa yang tengah disangkakan kepada dirinya.
Karena ulah Novanto itu, hari-hari ini beringin diterpa angin puting beliung yang mematikan. PG menghadapi ujian maha berat dan terpaan musibah nan dahsyat, untuk kali kedua.
Masih segar dalam ingatan di masa awal reformasi, akhir tahun '90-an hingga awal tahun 2000-an. Golkar (bersama TNI) dihujat habis-habisan dan menghadapi tuntutan harus dibubarkan, karena peranannya sebagai tiang utama (bukan tiang listrik), penyangga Orde Baru.
Bersyukur, saat itu Golkar - yang segera mendeklarasikan diri sebagai Partai Golksr (PG) - dikomandani oleh seorang Akbar Tanjung (AT). Figur yang diakui ketokohannya dan kuat leadershipnya. Seorang politikus sejati yang kenyang dengan pengalaman organisasi dan asam-garamnya perjuangan. Tokoh yang memiliki kapasitas yang dibutuhkan serta gezah dan wibawa sedemikian rupa, yang dibutuhkan saat PG porak-poranda.
Di bawah guyuran caci-maki itu, PG bukan hanya tetap bisa eksis, melainkan justru tampil mengesankan, penuh percaya diri dengan identitas budaya politik dan warna sendiri. AT adalah orang yang tepat, hadir pada saat yang tepat. AT (bersama yang lain), boleh dibilang sebagai pahlawan Golkar yang berhasil melakukan konsolidasi partai, seraya terus melangkah ke hadapan dengan solid dan mantap. Hasilnya, PG keluar sebagai pemenang Pemilu 2004, walau gagal mengantarkan calonnya menjadi Presiden.
Identitas, budaya, dan warna politik PG itu makin pudar, seiring makin surutnya peran politik AT. Musibah yang menerpa saat ini, kemudian stand up comedy yang sama sekali tidak lucu dari SN dalam menghadapinya, adalah puncak dari kegagalan PG dalam menjaga identitas, budaya, dan warna politiknya.
Sesungguhnya, SN dinilai tidak tepat, tidak cakap, dan tidak cukup kapasitas sebagai nakoda partai sebesar PG ini. Namun, dia mesti dipantas-pantaskan, agar PG bisa masuk perangkap dan mudah dikendalikan. Dengan demikian, PG tidak menari dengan gubahannya sendiri, melainkan sekedar pemain latar yang mengikuti kendang parpol lain. Akhirnya, kenyataan itu tiba juga. Teryata, Novanto memang hanya cakap ber-malingering.
Mengukur Masa Depan PG
Suka atau tidak, kini nasi bukan hanya kebacut menjadi bubur. Tapi, sudah menjadi intip/kerak, menuju gosong.
Tingkah polah Novanto nyata-nyata telah mencoreng sekaligus membikin PG terjerembab kembali. Tersungkur, lalu duduk termenung di dasar jurang, sambil memandangi luka yang begitu dalam.
Tentunya, kini segalanya terpulang kembali kepada stake holder dan pengurus PG sendiri. Melanjutkan lari dari kenyataan, atau bangun tersentak melakukan konsolidasi, guna meraih kembali identitas atau jati diri, sesuai budaya dan warna PG, sebagai partai perjuangan, pengabdi kepentingan rakyat, bangsa, dan negara.
Halo, PG...?
Apa kabar, Tuan?
Anda berpengalaman jatuh dan bangun, bersama sejarah bangsa.