Artikel opini yang ditulis oleh Mohammad H Fadel. Ia adalah Profesor Hukum di University of Toronto. Profesor Fadel telah menerbitkan banyak artikel tentang sejarah hukum Islam, teologi dan Islam serta liberalisme.
Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi dan sekutu budayanya di antara elit sekuler, termasuk Gaber Asfour, mantan menteri kebudayaan, yakin bahwa kunci kemajuan Mesir terletak pada reformasi agama. Memang, memerangi ekstremisme agama adalah pembenaran utama bagi kudeta 2013 dan peristiwa berdarah serta represi politik massal yang mengikutinya.
Pada hari-hari yang memabukkan setelah kudeta, dan dalam amandemen konstitusi 2014 yang datang untuk memperkuat koalisi yang menggulingkan mantan Presiden Mohamed Morsi dari jabatannya, al-Azhar dianugerahi dengan kekuatan penting atas pengajaran publik Islam di Mesir, bahkan jika itu terjadi. tidak diberi peran formal dalam proses legislatif.
Mungkin yang paling penting dari sudut pandangnya, ia diberikan otonomi kelembagaan atas urusannya sendiri yang belum pernah terjadi sebelumnya sejak masa mantan Presiden Gamal Abdel Nasser.
Lewat RUU
Namun banyak sekularis dalam koalisi Sisi telah lama curiga terhadap peran al-Azhar dalam kehidupan Mesir, dan tak lama setelah kudeta, mereka terlibat dalam kampanye publik yang mengkritik ketidakfleksibelan kurikulum al-Azhar dan kegagalannya memperbarui buku-bukunya untuk mempersiapkan siswa menghadapi. tantangan masyarakat modern.
Pers populer memanfaatkan diskusi dalam karya-karya fikih yang membahas pertanyaan yang tampaknya aneh - seperti dibolehkannya kanibalisme ketika seseorang dihadapkan pada kemungkinan kematian karena kelaparan - untuk menyatakan bahwa kurikulum al-Azhar itu sendiri adalah penyebab ekstremisme agama, dan bahwa itu perlu mereformasi bidang studinya untuk mengalahkan "ekstremisme agama".