Demikian juga dengan ketentuan yang sudah ada memiliki kelemahan, yaitu upaya untuk merampas aset hasil tindak pidana umumnya hanya dapat dilaksanakan jika pelaku kejahatan oleh pengadilan dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana.
Mekanisme ini selain sulit diterapkan akibat adanya berbagai halangan yang mengakibatkan pelaku kejahatan tidak bisa menjalani pemeriksaan di sidang pengadilan, juga tidak tertutup kemungkinan tidak dapat diterapkan karena tidak ditemukannya bukti yang cukup untuk mengajukan tuntutan ke pengadilan.Aset kejahatan sering kali dengan mudah dialihkan atau bahkan dilarikan ke luar negeri.
Pada saat ini undang-undang yang memuat ketentuan hukum yang berkaitan dengan penyitaan dan perampasan hasil tindak pidana di Indonesia tersebar diberbagai peraturan perundang undangan antara lain:
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP);
- Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan;
- Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika;
- Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang; dan
Konstruksi hukum pidana di Indonesia terutama di dalam KUHP dan KUHAP, belum menempatkan penyitaan dan perampasan hasil tindak pidana sebagai bagian penting dari upaya menekan tingkat kejahatan di Indonesia.
Sedangkan dalam undang-undang yang bersifat lex spesialis seperti Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hanya mengatur ketentuan mengenai pengembalian beban pembuktian terhadap perolehan harta dan kekayaan tersangka.
Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menyatakan bahwa dalam sidang pengadilan terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan berasal dari tindak pidana.
Saat ini Indonesia memerlukan pengaturan khusus mengenai perampasan aset hasil tindak pidana. Dengan demikian, peristiwa penyalahgunaan aset negara seperti dalam kasus Yayasan Supersemar oleh mendiang Soeharto, ahli warisnya dan kroni-kroninya tidak akan terulang kembali, karena Indonesia sudah mempunyai dasar hukum dalam hukum nasional yang mengatur tentang mekanisme pengembalian dan perampasan aset negara.
Pengaturan khusus mengenai perampasan aset hasil tindak pidana, diperlukan untuk memasukan sistem perampasan yang memungkinkan dilakukan pengembalian aset hasil tindak pidana melalui mekanisme perdata yang menekankan pada perampasan aset hasil tindak pidana secara in rem (kebendaan).
Dalam hal ini, pelaku kejahatan yang dinyatakan secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan kejahatan berdasarkan suatu keputusan pengadilan bukan merupakan prasyarat yang harus dipenuhi guna dilakukannya perampasan aset.
Dengan mekanisme ini terbuka kesempatan yang luas untuk merampas segala aset yang diduga merupakan hasil dari tindak pidana (proceed of crime) dan aset-aset lain yang patut diduga akan digunakan atau telah digunakan sebagai sarana untuk melakukan tindak pidana.
Mekanisme perampasan aset ini juga dapat digunakan sebagai alternatif untuk mendapatkan kompensasi atau uang pengganti atas kerugian negara. Dengan demikian aset yang baru ditemukan kemudian hari dan tidak tercantum dalam daftar aset yang dapat disita atau dirampas berdasarkan putusan pidana yang sudah inkracht, tetap dapat disita dan dirampas melalui mekanisme ini.
Selain itu kendala-kendala yang timbul dalam upaya pengembalian aset melalui mekanisme pidana dapat teratasi, walaupun pelakunya sakit atau tidak ditemukan atau meninggal dunia perampasan aset dapat tetap dilakukan secara fair karena dilakukan tetap melalui suatu sidang pengadilan.
Dengan demikian untuk efektifitas pemberantasan korupsi, keberadaan Undang-Undang tentang Perampasan Aset sudah menjadi kebutuhan untuk menjerat koruptor yang lolos dari UU Tipikor dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Sebenarnya sejak tahun 2014, sudah ada Draf Undang-Undang Perampasan Aset yang diusulkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). RUU itu dinilai efektif untuk pemberantasan korupsi, terutama dalam mengembalikan kerugian negara secara cepat dan murah.
RUU itu sudah diusulkan ke DPR, tetapi sayangnya belum dimasukkan ke Prolegnas. Padahal RUU yang drafnya sudah matang di Kemenkum dan HAM itu harusnya sudah dijadikan landasan dalam pemberantasan korupsi. Yaitu untuk merampas seluruh aset yang tidak bisa dipertanggungjawabkan penyelenggara negara yang belum tersentuh oleh regulasi yang sudah ada.