Klikanggaran.com (16/12/2017) - Pekan Februari 2006, saya disibuki pembahasan RUU Kementerian Negara (RUU KN) dan RUU Dewan Penasehat Presiden (RUU DPP) di Senayan. Ketua Pansus kedua RUU itu adalah Agun Gunanjar Gunarsa dari FPG. Dalam kosinyering, RUU KN diusulkan menjadi RUU Kekuasaan Pemerintahan (RUU KP), sehingga memasuki perdebatan seru.[2]
Sudah banyak pakar dan lapisan masyarakat yang diundang Agun untuk inputan penyusunan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Dalam daftar penting, diundang mantan petinggi birokrat negara: Akbar Tanjung, Amien Rais, Megawati, Gus Dur. Baguslah, kian banyak inputan penting, kian sedikit kesilapannya kelak. Di Pansus itu, saya sendiri kayak remote control - diganggu syahwat recall separuh DPP PAN akibat studi Naskah Akademik UU Anti Judi di Mesir.
Tapi, setelah sekian banyak wacana dan masukan RUU itu, belum cukup terang bagi saya arah diskursus cakupan azas materinya, baik dari perspektif Gesetzgebungs Wisensschaft maupun paradigma UU No 10/2004. Masalahnya, inisiator RUU itu -pemerintah- tak menyediakan Naskah Akademiknya. Jadinya, untuk sekadar menyusun DIM saja, laksana berjalan di rimba luas gulita.
Pertanyaan pertama tak terjawab: “Apakah hak prerogatif Presiden boleh diatur RUU itu?” Konsekwensinya, pengaturan bisa mengurangi hak prerogatif presiden yang cenderung absolut pada het wetsbegrip UUD 45.
Pertanyaan kedua, juga tak terjawab: “Apakah hak prerogatif presiden menurut wetsgeving dan staatsbegroting UUD 45 bersifat absolut, sehingga tak bisa dikurangi, dalam kasus ini pengaturan oleh RUU KP?” Ada dua paradok UUD 45 tentang hak prerogatif yang saya catat dari inputan RUU KP: (i) Prof Harun Al Rasyid: hak prerogatif tidak bisa dikurangi. Dan, (ii) Prof Ismail Suny: hak prerogatif berhenti ketika muncul UU yang membatasi.
Pertanyaan ketiga, juga tak terjawab: “Apakah mampu mengkonstruksi kinerja Dewan Penasihat Presiden tanpa UU Kepresidenan dan UU Rumah Tangga Istana?” Argumennya, akibat Dewan Penasihat Presiden diatur oleh UU DPP, praktis ia menjelma state auxiliary agency -badan independen yang dibiayai APBN- mau-tak-mau kinerjanya coverage dari azas algemene beginselen van behorlijk bestuur (AUPB) yang terkena fungsi controlling dan budgeting DPR-RI. Dengan kata lain, pekerjaan jadi pembisik Presiden pun harus terukur, karena dibiayai oleh rakyat.
Pertanyaan keempat, juga tak terjawab: “Apakah mampu diatur oleh RUU KP dan DPP hubungan kinerja kabinet, kementerian negara, dan rumah tangga istana dengan azas algemene beginselen van behorlijk bestuur tadi tanpa harus merujuk UU Sekretariat Negara, UU Kepresidenan, dan UU Rumah Tangga Istana yang belum ada?”
Kasus pertanyaan tak terjawab itu adalah contoh kecil kacaunya pemahaman eksistensi fungsi Naskah Akademik dalam prosesi pembuatan UU di Senayan dengan mayoritas anggota DPR kurang paham. Namun, saya pastikan, Agun sangat paham hingga detail teknik, fungsi, dan akibat Naskah Akademik.
Dewasa ini, separuh isi Prolegnas adalah RUU tanpa Naskah Akademik. Tak berdosa memang tanpa Naskah Akdemik, formil maupun materiil. Tapi, kami di Senayan, semua maklum bahwa hasil kerja tanpa Naskah Akademik, minimal tak ilmiah, maksimal amburadul.
Naskah Akademik adalah sebuah buku berisi hasil penelitian ilmiah tentang suatu masalah dengan tujuan riset untuk menyediakan rujukan ilmiah atas milieu masalah peraturan perundangan yang akan dibahas. Jadi, tujuan riset Naskah Akademik adalah aplikasi.
Karena tujuan untuk aplikasi itu, wajib hukumnya dalam pembuatan Naskah Akademik, disusun berdasarkan penelitian lapangan, menggunakan metodologi kuantitatif yang tak terlalu luas dan rumit -jika dibandingkan dengan penelitian disertasi yang tujuannya untuk keilmuan (tidak untuk aplikasi).
Naskah Akademik yang dibuat Litbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, umumnya terkonsentari pada satu masalah yang disempitkan secara deduktif dengan tujuan untuk memudahkan para pembuat UU (legislator) memakai Naskah Akademik itu. Sedangkan teknis analisisnya, juga tak terlalu matematis - umumnya menggunakan teknik Analisis Tabulasi sederhana.
Metafora Naskah Akademik tak ubahnya seperti kita mampir di Restoran Padang, di mana berbagai ragam menu dihidangkan komplet di atas meja makan. Para legislator tinggal memilih menu sesuai selera mantiknya sebagai rujukan utama saat sebuah RUU berada di tangan sang legislator -yang pasti seluruh makanan tersaji di atas meja itu sudah diolah secara ilmiah. Dengan kata lain, kesalahan akademik di dalamnya, tak lebih dari Alpha 5 persen (parametrik dan non parametrik).
Jadi, andai RUU itu punya Naskah Akademik, maka empat pertanyaan di muka tadi, sudah tersaji di atas meja dalam bentuk completely built-in -legislator tinggal mengunyahnya, sejak definisi, konstruksi kategori, teknik, dan metodologi, deskripsi terminologi, aksiologi, etimologi, epistimologi, hingga sosiologi- bahkan dalam sejumlah model perbandingan, misalnya hak prerogatif di Amerika, Eropa, dan Timur Jauh.