opini

KHUTBAH JUMAT: Mengapa Harga Minyak Goreng Melambung Tinggi?

Jumat, 18 Maret 2022 | 14:54 WIB
Ilustrasi: minyak goreng (dok. Ist)

KLIKANGGARAN -- Polemik kelangkaan minyak goreng dan harganya yang melambung tinggi membuat minyak goreng menarik dibahas dari berbagai sisi.

Walaupun berbagai cara dilakukan untuk mengantisipasi segala kemungkinan terkait kelangkaan minyak goreng dan harganya yang mahal, tetap saja di beberapa daerah minyak goreng masih sulit untuk didapatkan.

Dalam khutbahnya,Sekretaris Umum PP ISNU, M Kholid Syeirazi menjelaskan alasan kenapa harga minyak melambung tinggi dari sudut pandang lain.

Berikut isi khutbah Jum'at dengan judul 'Mengapa Harga Minyak Goreng Melambung Tinggi?' dari M Kholid Syeirazi menarik untuk disimak.

Baca Juga: Pakai Garam? Cuma Mitos! Inilah Cara yang Dilakukan ketika Bertemu Ular dan Tips Agar Ular Tidak Masuk Rumah

Saya akan merunutnya dari hulu ke hilir.

Pertama, minyak goreng adalah produk olahan dari minyak kelapa sawit (CPO). Indonesia adalah produsen sekaligus eksporter CPO terbesar di dunia. Tahun 2021, produksi sawit Indonesia mencapai 51.3 juta ton (Grafik 1).

Dari jumlah itu, 65% (34,2 juta ton) diekspor. Sisanya 18,4 juta ton (35%), dipakai sendiri (Grafik 2). Pemanfaatan konsumsi domestik adalah untuk pangan, termasuk minyak goreng, sebanyak 49%, lalu oleokimia 11%, dan biodiesel 40%.

Kedua, produsen sawit terbesar adalah korporasi swasta (Grafik 3). Mereka kini sedang mendapat rezeki nomplok. Harga CPO naik gila-gilaan. Ini kenaikan tertinggi sejak 2011. Harga per ton mencapai US$1.345. Di awal pandemi, harga sempat terpuruk di level US$577 pada Mei 2020 (Grafik 4).

Baca Juga: Latihan Bebas 1 Pertamina Grand Prix Indonesia 2022 Pol Espargaro Teratas Ungguli Oliveira dan Marc Marquez

Mengapa harga CPO terkerek tinggi? Ada faktor pemulihan ekonomi pasca pandemi. Lainnya dampak berantai karena kenaikan harga komoditas primer yang dipimpin oleh minyak mentah. Ada juga faktor penurunan produksi CPO oleh dua produsen utama, Indonesia dan Malaysia. Produksi CPO Indonesia turun tipis, dari 51,6 juta ton pada 2020 ke 51.3 juta ton pada 2021.

Ketiga, dunia sedang galau untuk menggeser energi fosil. Energi non-fosil dibaurkan agar mengurangi konsumsi fosil yang tidak ramah lingkungan. Di sektor transportasi, dunia memperkenalkan biofuel yang diolah dari campuran fosil dan minyak nabati. CPO dipakai sebagai komponen HSD yang dikenal dengan biosolar.

Pemerintah menetapkan kebijakan mandatori biodiesel, dengan program B20 dan B30. Pertamina memproduksi biosolar, dengan kandungan CPO 20 persen dan 30 persen. Ambisinya bahkan B100, artinya 100% dari CPO. Akibatnya terjadi ‘perang’: sawit untuk pangan atau untuk energi.

Baca Juga: Tonton Pertandingan Sepak Bola Favorit Anda Melalui Mola TV

Halaman:

Tags

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB