Dengan lebih dari 700 bahasa daerah yang digunakan di Indonesia, bahasa Indonesia berperan sebagai pemersatu yang menjembatani berbagai perbedaan etnis, agama, dan adat istiadat.
Jika bahasa asing terus mendominasi ruang publik, tidak hanya nilai bahasa Indonesia yang terancam memudar, tetapi juga nilai-nilai kebangsaan yang tumbuh dari semangat Sumpah Pemuda dan semangat memerdekakan diri dari penjajahan.
Beberapa pihak mungkin berdalih bahwa bahasa asing diperlukan untuk kebutuhan bisnis global dan komunikasi lintas negara.
Hal itu memang benar dan tidak dapat disangkal, apalagi di era teknologi digital yang membuat komunikasi antarbangsa semakin intens.
Namun, bukan berarti bahasa Indonesia harus dikesampingkan atau dijadikan “bahasa kelas dua” di negeri sendiri.
Ada contoh daerah yang berhasil menjaga nilai-nilai bahasa dan budayanya dengan tetap memberi tempat bagi bahasa daerah dan bahasa Indonesia.
Bali, misalnya, telah mengatur agar papan nama usaha juga memuat aksara Bali berdampingan dengan huruf Latin dan bahasa asing.
Langkah ini dapat dijadikan contoh nyata bahwa modernisasi dapat berdampingan dengan pelestarian identitas bahasa dan budaya.
Kita tidak dapat memungkiri bahwa kemampuan berbahasa asing memang perlu untuk mempersiapkan generasi yang siap menghadapi persaingan global.
Namun, kemampuan ini seharusnya tumbuh berdampingan dengan kecintaan dan kebanggaan terhadap bahasa Indonesia.
Sekolah, media, dan tempat kerja perlu aktif memberi contoh bahwa bahasa Indonesia bukan hanya soal komunikasi formal, tetapi juga soal jati diri dan solidaritas sebagai sebuah bangsa.
Agar bahasa Indonesia tetap berdiri kokoh, dibutuhkan kesadaran kolektif dari seluruh lapisan masyarakat.
Regulasi yang sudah ada harus dijalankan dengan tegas, dan pelaku usaha juga dapat berkontribusi dengan memprioritaskan bahasa Indonesia di ruang publik.
Dukungan dari media dan teknologi juga dapat menjadi katalis positif bagi generasi muda agar tidak hanya mahir berbahasa asing, tetapi juga bangga dan fasih dalam berbahasa Indonesia.
Pada akhirnya, soal bahasa bukan hanya soal tren atau kebutuhan bisnis semata, tetapi soal siapa kita sebagai sebuah bangsa.