KLIKANGGARAN--Gagasan Menteri Agama, Prof. Nasaruddin Umar tentang pengembangan eco-theology di seluruh satuan kerja Kemenag sangat menarik untuk diintegrasikan ke dalam program ketahanan pangan. Khususnya di kampus-kampus PTKIN yang memiliki lahan luas. Hal ini tidak hanya mengoptimalkan fungsi lahan tidur yang ada di lingkungan kampus, akan tetapi untuk jangka panjang juga dapat memperkuat upaya kemandirian kampus.
Dalam menghadapi tantangan global seperti krisis iklim, kelangkaan pangan, dan degradasi lingkungan, dunia pendidikan dituntut untuk tidak hanya menjadi pusat ilmu, tetapi juga motor perubahan sosial yang nyata. Konsep kampus berdikari hadir sebagai jawaban atas tantangan tersebut. Kampus berdikari merupakan institusi pendidikan tinggi yang mandiri secara intelektual, ekonomi, dan ekologis. Salah satu pendekatan inovatif yang bisa diterapkan dalam membangun kampus berdikari adalah pengembangan program eco theology yang terintegrasi dengan ketahanan pangan.
Eco theology merupakan cabang teologi yang menyoroti hubungan spiritual antara manusia, Tuhan, dan alam. Pendekatan ini menekankan pentingnya merawat bumi sebagai tindakan iman dan moral. Dengan menggabungkan prinsip eco theology dalam sistem pembelajaran dan praktik kampus, mahasiswa tidak hanya dibentuk secara akademik, tetapi juga secara etis dan ekologis. Hal ini menciptakan kesadaran bahwa menjaga lingkungan bukan sekadar kewajiban sosial, tetapi juga tanggung jawab spiritual.
Dalam konteks kampus berdikari, eco theology dapat diterjemahkan ke dalam berbagai program nyata yang mendukung ketahanan pangan. Kampus bisa memanfaatkan lahan tidur untuk membangun kebun pangan organik yang dikelola oleh mahasiswa dan dosen lintas disiplin. Kegiatan ini tidak hanya menghasilkan sumber pangan lokal, tetapi juga menjadi laboratorium hidup untuk memahami keberlanjutan ekosistem dan peran manusia di dalamnya.
Ketahanan pangan menjadi aspek krusial dalam membangun kemandirian kampus. Dengan menanam sayuran, buah, rempah, hingga peternakan kecil, kampus dapat mengurangi ketergantungan pada pasokan luar, sekaligus menyediakan makanan sehat bagi komunitas internal. Selain itu, mahasiswa belajar langsung tentang proses produksi pangan dari hulu ke hilir, serta pentingnya menjaga keberlanjutan rantai pasok.
Kolaborasi antardisiplin menjadi kunci keberhasilan program ini. Mahasiswa teologi dapat menyusun narasi spiritual tentang tanggung jawab ekologis, sementara mahasiswa sains dan teknologi bekerja sama dalam penerapan teknik budidaya berkelanjutan. Mahasiswa komunikasi dan sosial dapat mengedukasi masyarakat kampus melalui kampanye dan dokumentasi, menciptakan kesadaran kolektif akan pentingnya ketahanan pangan berbasis nilai-nilai spiritual.
Selain menghasilkan manfaat ekologis dan pangan, program eco theology linked to food security juga memperkuat karakter mahasiswa. Mereka dibentuk menjadi individu yang peduli lingkungan, berjiwa mandiri, serta memahami keterkaitan antara iman, ilmu, dan aksi nyata. Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan tinggi yang tidak hanya mencetak lulusan cerdas, tetapi juga bermoral dan solutif terhadap permasalahan nyata.
Lebih jauh lagi, kampus dapat menjadi model percontohan bagi masyarakat sekitar. Dengan mengadakan pelatihan, membuka akses ke kebun pangan, serta memfasilitasi pembelajaran berbasis komunitas, nilai-nilai eco theology dan ketahanan pangan dapat meluas ke luar tembok kampus. Kampus berdikari pun menjelma menjadi pusat transformasi sosial yang inklusif dan berdampak.
Implementasi program ini tentu membutuhkan komitmen jangka panjang, dukungan kebijakan internal, dan kemauan untuk berinovasi. Namun, dengan semangat kolaboratif dan visi ekologis yang kuat, kampus berdikari berbasis eco theology dan ketahanan pangan bukan sekadar utopia, melainkan keniscayaan yang bisa diwujudkan demi masa depan yang lestari dan adil.
Dengan demikian, pengembangan program eco theology yang terhubung dengan ketahanan pangan bukan hanya strategi akademik, tetapi juga gerakan kultural dan spiritual. Kampus yang menghidupi nilai-nilai ini akan tumbuh sebagai ruang belajar yang menyatu dengan alam, masyarakat, dan iman—sebuah model pendidikan tinggi yang benar-benar berdikari dan relevan di era perubahan iklim dan krisis kemanusiaan global.***
Artikel ini merupakan opini yang ditulis oleh M. Ishom el-Saha, Guru Besar UIN Sultan Maulana Hasanuddin, Banten
Artikel Terkait
Data Sains: Ketika Matematika Menjadi Hidup
Penanaman Rasa Tauhid di Kalangan Mahasiswa Saat Ini
Menyimak Minimnya Rasa Bela Negara di Tengah Masyarakat Kita
Kesiapan Mahasiswa dalam Mengambil Keputusan di Era AI
Mencermati Wawasan Mahasiswa di Era Pesatnya Perkembangan Teknologi