KLIKANGGARAN -- Di tengah revolusi industri 4.0 yang kini memasuki fase kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI), peran manusia dalam pengambilan keputusan mengalami transformasi besar.
Bukan lagi sepenuhnya mengandalkan intuisi, pengalaman, atau pengetahuan pribadi, kita kini hidup dalam era di mana sistem algoritmik dapat menyuguhkan opsi, menganalisis risiko, bahkan menyarankan solusi.
Di antara kelompok yang paling terdampak oleh perubahan ini adalah mahasiswa—generasi pembelajar yang tengah dipersiapkan menjadi pengambil keputusan masa depan.
Baca Juga: Perkuat Kerja Sama Sektor Pertanian, Perumda Simpurusiang Teken MoU Bersama 2 BUMD
Pertanyaannya adalah: sudahkah mahasiswa siap mengambil keputusan yang bijak, strategis, dan etis di era AI ini?
AI bukan hanya alat bantu pencarian data atau analisis statistik. Ia mampu melakukan predictive modeling, pengenalan pola, pengolahan bahasa alami, bahkan pengambilan keputusan semi-otonom dalam berbagai bidang—dari kedokteran, bisnis, pendidikan, hingga pemerintahan.
Namun, secanggih apa pun AI, ia tetaplah alat. Ia tidak memiliki empati, nilai moral, atau kesadaran etis. Di sinilah manusia—termasuk mahasiswa—tetap memegang peran utama dalam proses pengambilan keputusan.
Baca Juga: Menyimak Minimnya Rasa Bela Negara di Tengah Masyarakat Kita
Namun, muncul sebuah tantangan baru. Ketika AI mampu menyarankan keputusan yang tampak logis dan efisien, mampukah mahasiswa melihat lebih dalam? Mampukah mereka bertanya: dari mana data ini diambil? Siapa yang membangun algoritma ini? Apakah ada bias yang tersembunyi? Apakah keputusan ini adil bagi semua pihak?
Tanpa kemampuan berpikir kritis dan etis, mahasiswa berisiko menjadi pasif user yang hanya mengikuti saran teknologi tanpa mempertanyakan validitas atau dampaknya. Di sinilah pentingnya membangun kesiapan mereka, bukan hanya secara teknis, tetapi juga secara intelektual dan moral.
Realitas di lapangan menunjukkan bahwa kesiapan mahasiswa dalam menyikapi era AI masih sangat beragam. Sebagian mahasiswa di jurusan teknologi, sains data, atau teknik informatika mungkin sudah terbiasa menggunakan AI, bahkan ikut mengembangkan sistemnya.
Baca Juga: Penanaman Rasa Tauhid di Kalangan Mahasiswa Saat Ini
Namun, bagaimana dengan mahasiswa di jurusan sosial, pendidikan, hukum, atau seni? Banyak dari mereka yang masih melihat AI sebagai hal teknis, jauh dari kehidupan sehari-hari, padahal AI justru semakin melekat dalam semua sektor kehidupan.
Kekurangan pemahaman ini sering membuat mahasiswa memanfaatkan AI secara terbatas—misalnya untuk menyusun tugas kuliah dengan bantuan chatbot, membuat slide otomatis, atau mengedit gambar—tanpa menyadari bahwa mereka sebenarnya sedang berinteraksi dengan sistem yang kompleks dan berpotensi memengaruhi pola pikir serta nilai mereka.