opini

Code-Mixing: Antara Dinamika Globalisasi dan Tantangan Literasi

Selasa, 21 Januari 2025 | 20:27 WIB
Ilustrasi (Istimewa)

KLIKANGGARAN -- Fenomena penggunaan bahasa campur Indonesia-Inggris, atau code-mixing, semakin marak terjadi, terutama di kalangan anak muda. Fenomena ini dianggap sebagai cara untuk menunjukkan identitas global dan kemampuan bahasa yang lebih luas.

Menurut Wardhaugh & Fuller (2021), code-mixing merupakan wujud kreativitas berbahasa, yang sering kali berfungsi untuk menutupi kekurangan kosakata pada salah satu bahasa.

Di Indonesia, penggunaan ini sering kali muncul di media sosial, periklanan, hingga lingkungan pendidikan, mencerminkan tren globalisasi. Namun, penggunaan bahasa campur ini tidak lepas dari kritik, terutama tentang pengaruhnya terhadap kemampuan literasi dalam bahasa Indonesia.

Pertanyaannya adalah, apakah fenomena ini membawa lebih banyak manfaat atau tantangan bagi masyarakat Indonesia?

Penggunaan bahasa campur memiliki sisi positif yang tidak dapat diabaikan. Bahasa campur sering kali membantu individu mengekspresikan diri dengan lebih fleksibel dan dinamis dalam konteks tertentu.

Sebagai contoh, dalam dunia kerja, istilah dalam bahasa Inggris sering kali lebih efektif menggambarkan konsep tertentu yang belum memiliki padanan bahasa Indonesia (Gumperz, 1982).

Selain itu, bahasa campur juga memudahkan generasi muda untuk mengakses informasi global yang mayoritas disampaikan dalam bahasa Inggris (Khansa, 2022).

Namun, jika penggunaannya tidak diimbangi dengan penguasaan bahasa Indonesia yang baik, hal ini dapat melemahkan identitas budaya bangsa. Oleh karena itu, diperlukan keseimbangan dalam mempraktikkan bahasa campur.

Meski memiliki manfaat, fenomena ini memunculkan beberapa tantangan, terutama dalam aspek literasi. Berdasarkan penelitian oleh Verawati et al. (2023), generasi muda yang terlalu sering menggunakan bahasa campur cenderung memiliki kemampuan rendah dalam menulis dan memahami teks formal bahasa Indonesia.

Hal ini menunjukkan bahwa kebiasaan berbahasa campur dapat memperburuk krisis literasi di Indonesia, yang saat ini menjadi perhatian serius. Data dari UNESCO menyebutkan bahwa tingkat literasi di Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara lain di Asia Tenggara.

Oleh karena itu, penggunaan bahasa campur harus dipertimbangkan dengan lebih bijak agar tidak memperparah masalah literasi nasional.

Selain itu, bahasa campur berpotensi memperlebar kesenjangan sosial. Dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia, tidak semua individu memiliki akses yang sama terhadap pembelajaran bahasa Inggris.

Individu dari latar belakang ekonomi yang lebih rendah cenderung merasa terpinggirkan dalam percakapan yang melibatkan bahasa Inggris. Hal ini dapat menciptakan hambatan komunikasi di masyarakat, yang pada akhirnya berpotensi mengurangi kohesi sosial.

Dalam konteks ini, bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan harus tetap dijaga penggunaannya. Untuk menghadapi tantangan ini, diperlukan upaya sistematis dalam memperkuat pendidikan literasi. Pemerintah perlu memastikan bahwa pendidikan bahasa Indonesia diberikan secara kontekstual, sehingga relevan dengan kebutuhan masyarakat saat ini.

Halaman:

Tags

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB