Meskipun literasi digital menawarkan banyak peluang, kenyataannya masih banyak individu di seluruh dunia yang belum sepenuhnya mendapatkan akses ke teknologi digital, atau tidak memiliki kemampuan untuk memanfaatkan teknologi tersebut secara maksimal.
Isin dan Ruppert menyebutkan adanya masalah ketimpangan digital, di mana akses terhadap teknologi dan pengetahuan digital terbatas pada kelompok-kelompok tertentu. Ketimpangan ini, jika tidak diatasi, dapat memperburuk kesenjangan sosial dan politik yang ada.
Negroponte juga menyarankan bahwa untuk menghadapi perubahan besar ini, masyarakat harus menginvestasikan lebih banyak dalam pendidikan digital. Hanya dengan cara ini, generasi mendatang akan siap menghadapi tantangan baru yang ditimbulkan oleh dunia digital—baik dalam hal pekerjaan, komunikasi, maupun kewarganegaraan.
Literasi digital bukan lagi pilihan, tetapi kebutuhan mendasar di dunia yang semakin terdigitalisasi. Dari perspektif Being Digital, literasi digital adalah kunci untuk memahami dan mengelola perubahan yang dibawa oleh teknologi, sementara dalam Being Digital Citizens, literasi digital melibatkan tanggung jawab sosial yang lebih luas terkait dengan kewarganegaraan di dunia maya.
Seiring dengan semakin dalamnya keterlibatan kita dengan dunia digital, penting bagi kita untuk membekali diri dengan keterampilan yang tidak hanya mencakup teknis penggunaan perangkat dan internet, tetapi juga pemahaman kritis tentang bagaimana kita bisa berpartisipasi dalam masyarakat digital dengan cara yang etis dan bertanggung jawab. Literasi digital, dalam arti yang lebih luas, adalah dasar untuk membentuk dunia digital yang lebih adil, inklusif, dan manusiawi.***