KLIKANGGARAN -- Pendidikan merupakan hak dasar setiap individu, yang seharusnya tidak membedakan latar belakang atau kondisi fisik seseorang. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak tantangan yang harus dihadapi oleh penyandang disabilitas dalam mengakses pendidikan yang setara.
Meskipun berbagai kebijakan sudah dicanangkan untuk mendukung kesetaraan hak dalam pendidikan, tapi implementasinya masih jauh dari harapan. Di tingkat perguruan tinggi, kesetaraan hak disabilitas masih menjadi topik yang sering terabaikan. Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi oleh penyandang disabilitas, terutama di perguruan tinggi, adalah akses terhadap materi pelajaran dan pembelajaran yang inklusif.
Kurangnya pemahaman dari sebagian besar pihak terkait—baik dosen, mahasiswa, maupun institusi—sering kali membuat pendidikan tidak dapat diakses dengan adil oleh semua individu, termasuk mereka yang memiliki keterbatasan fisik. Penting untuk menyadari bahwa pendidikan tidak hanya tentang materi yang diberikan, tetapi juga tentang cara-cara untuk memastikan bahwa setiap individu dapat mengakses materi tersebut dengan cara yang sesuai dengan kebutuhannya.
Sebagai contoh, bagi mahasiswa dengan keterbatasan penglihatan atau tunanetra, sering menghadapi kesulitan dalam mengakses bahan ajar seperti modul dalam bentuk gambar, video, atau instruksi tugas. Hal ini mengharuskan mereka untuk menggunakan teknologi perangkat pembaca layar atau meminta bantuan pihak lain untuk mengonversi materi tersebut ke format yang lebih aksesibel. Namun, kesulitan tidak hanya terletak pada masalah fisik dan teknis, tetapi juga pada sikap dan pemahaman lingkungan sekitar, terutama teman-teman sekelas.
Kurangnya empati dan pemahaman tentang perbedaan kebutuhan dalam belajar sering kali menyebabkan mahasiswa penyandang disabilitas merasa terisolasi atau terpinggirkan. Terkadang, sikap yang tidak sensitif terhadap perbedaan ini justru memperburuk pengalaman belajar mereka. Padahal, kesetaraan dalam pendidikan tidak hanya diukur dari kesempatan yang diberikan, tetapi juga dari bagaimana ruang pendidikan dapat menciptakan akses yang inklusif dan setara.
Oleh karena itu, kesetaraan hak disabilitas dalam pendidikan seharusnya lebih dari sekadar peraturan yang tertulis dalam undang-undang. Ini berkaitan dengan sikap, pemahaman, dan tindakan nyata untuk menciptakan ruang pendidikan yang benar-benar inklusif dan aksesibel bagi semua.
Di Indonesia, khususnya di perguruan tinggi, pendidikan bagi penyandang disabilitas masih jauh dari inklusif. Mengapa demikian? Apakah kita hanya melihat perbedaan ini ketika kita merasakannya sendiri? Atau lebih parah lagi, apakah kita terjebak dalam pemikiran bahwa “semua orang harus sama,” tanpa menyadari bahwa setiap individu memiliki cara dan kebutuhan yang berbeda dalam belajar?
"Keterbatasan fisik tidak seharusnya menjadikan mahasiswa disabilitas dianggap lebih rendah dari teman-temannya. Namun, kenyataannya masih ada yang merasa dirinya diperlakukan sebagai 'orang yang berbeda. Hal ini bukan hanya soal aksesibilitas fisik kampus yang ramah disabilitas, tetapi juga tentang kesadaran kolektif kita untuk menciptakan ruang yang memungkinkan setiap individu untuk berkembang, terlepas seperti apa pun kondisi mereka.
Sebagai mahasiswa dan calon pendidik, saya berharap kita semua bisa lebih peka terhadap perbedaan ini. Dunia pendidikan harus menjadi ruang yang merangkul segala perbedaan, bukan justru memperburuk jurang pemisah yang sudah ada. Kita tidak bisa mengharapkan lulusan yang sukses dan berdaya jika sejak awal mereka tidak diberikan kesempatan yang setara. Keberagaman dalam pendidikan seharusnya memperkaya pengalaman belajar, bukan malah menciptakan hambatan yang tidak perlu.
Penting bagi kita untuk mulai melihat kesetaraan hak disabilitas bukan hanya sebagai kewajiban hukum, tetapi sebagai kewajiban moral untuk membangun lingkungan pendidikan yang inklusif dan penuh empati. Jika kita bisa menciptakan ruang yang terbuka dan menerima perbedaan, tentu kita akan memperoleh pendidikan yang lebih baik dan berkeadilan bagi semua orang, tanpa terkecuali.
Melalui tulisan ini, saya mengajak semua pihak—tenaga pendidik, mahasiswa, dan masyarakat—untuk lebih peduli dan memahami bahwa kesetaraan hak disabilitas dalam pendidikan bukanlah sekadar masalah teknis atau regulasi. Itu adalah tentang menghargai kemanusiaan setiap individu dan memberi mereka kesempatan yang sama untuk berkembang. Jika kita bisa melakukannya, maka dunia pendidikan akan menjadi ruang yang lebih adil dan terbuka bagi mereka yang berjuang dengan caranya sendiri.
Penulis: Aini Dhuha Hidayah, Mahasiswi Sastra Indonesia Universitas Pamulang
Artikel Terkait
Ini Arti Kata 'Paeh' yang Diucapkan Calon wakil Wali Kota Bandung Erwin dalam Debat
Akhirnya Denny Sumargo Laporkan Farhat Abbas, Ini Alasannya
Tidak Mandi Beberapa Hari, Indra Herlambang pun Mengaku Tidak Akan Mencuci Baju Bekas Pelukan Lisa BLACKPINK, Sampai Kapan?
Berfoto dengan Buku Nikah Palsu, Begini Penjelasan Rizky Febian
Petakan Risiko dan Peluang, RA Gelar FGD Rencana Aksi Kolaboratif di Landskap Luwu Utara
Perkuat GCG, Pelindo Kolaborasi Dengan Jamdatun
Rp57,3 Miliar Belanja Setda Kabupaten Sorong Tanpa Pertangungjawaban
Inul Daratista Tutup Pintu Damai dengan OB yang Mencuri Mobil dan Uangnya, Kenapa?
Ini Arti Kata Hajar di KBBI, Bagaimana dengan Versi Farhat Abbas?
Pembangunan Jalan Kantor Bupati Jayawijaya Fiktif Rp8,2 Miliar