OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

photo author
- Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB
Presiden Prabowo Subianto minta pejabat harus bekerja lebih cepat dan tak sekadar omon-omon.  ((Tangkapan layar YouTube Sekretariat Presiden))
Presiden Prabowo Subianto minta pejabat harus bekerja lebih cepat dan tak sekadar omon-omon. ((Tangkapan layar YouTube Sekretariat Presiden))

Dari perspektif hukum tata negara, Presiden memang memiliki kewenangan prerogatif berdasarkan Pasal 14 UUD 1945, seperti memberikan amnesti dan abolisi dengan pertimbangan DPR. Namun, di titik inilah kekaburan terjadi.

UUD memang tidak menyebut kata rehabilitasi secara eksplisit. Karena itu, mekanisme rehabilitasi di Indonesia tetap merujuk pada KUHAP, yang menegaskan bahwa rehabilitasi adalah ranah pengadilan, bukan hak prerogatif eksekutif.

Ketidak sinkronan antara praktik ketatanegaraan dan hukum acara pidana inilah yang kemudian menimbulkan ruang tafsir dan perdebatan. Menurut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, pemberian rehabilitasi pada saat putusan belum inkracht adalah langkah yang terlalu berani. Bahkan menurut Mahfud, berbahaya karena menyentuh batas tipis antara kewenangan administratif Presiden dan independensi yudikatif.

Satu sisi, Pakar Hukum Tata Negara Jamin Ginting menilai rehabilitasi kepada Ira Puspadewi dkk bukan sekadar keputusan administratif, melainkan keputusan politik-hukum yang dapat diuji oleh publik.

Di balik pro kontra ini, Ira Puspadewi dkk sebenarnya masih memiliki hak untuk menguji kembali kebenaran fakta hukum yang menjeratnya. Artinya, masih ada kesempatan untuk melakukan upaya banding terhadap putusan vonis yang dijatuhkan kepada mereka.

Baca Juga: Inilah Sosok Dewi Astutik alias Mami, Buronan BNN Ditangkap di Kamboja, Siapa Sebenarnya?

Dalam hukum acara pidana Indonesia, batas waktu pengajuan upaya banding adalah tujuh hari sejak putusan dibacakan di persidangan. Secara normatif, jalan menuju rehabilitasi seharusnya berpangkal pada prinsip kepastian hukum. Dengan kata lain, rehabilitasi seharusnya diberikan setelah proses peradilan yang berkekuatan hukum tetap atau inkrah.

Dalam konteks ini, pemberian rehabilitasi kepada Ira Puspadewi dan kawan-kawan tampak sangat prematur. Negara terkesan terburu-buru memberikan pengampunan sebelum hukum berbicara secara final. Padahal, jika Ira dan kawan-kawan benar menjadi korban kekeliruan proses hukum, mereka bisa menjadi simbol perjuangan menegakkan keadilan di negeri ini. Bukan sebaliknya, sebagai pihak yang menerima 'belas kasihan politik' melalui kebijakan restoratif.

Seharusnya proses hukum yang menjerat Ira dan kawan-kawan dijalani sampai tuntas. Dengan begitu, publik mendapat kepastian. Bukan membuat bingung karena munculnya rehabilitasi yang terkesan memotong proses dan menimbulkan kecurigaan terhadap keadilan hukum.

Namun, di balik semua pandangan ini, sisi kemanusian lebih utama. Ira Puspadewi dan dua anak buahnya bukan sekadar menjadi korban kekeliruan hukum. Mereka punya keluarga yang menanggung beban sosial dan psikologis.

Reputasi terlanjur hancur. Mereka menanggung stigma negatif sebelum pengadilan mengetuk palu terakhir. Namun dimensi manusiawi ini juga dimiliki oleh publik. Masyarakat juga lelah menyaksikan hukum yang tumpul ke atas, namun tajam ke bawah.

Keputusan rehabilitasi bukan lagi sekadar soal hukum, melainkan soal kepekaan moral negara. Tanpa penjelasan terbuka, keputusan ini bisa diartikan sebagai upaya meringankan beban elit, bukan sebagai koreksi terhadap ketidakadilan.

Pertanyaan yang harus dijawab pemerintah, apakah rehabilitasi ini sah? Jika jawabannya belum jelas, maka rehabilitasi Ira Puspadewi dan kawan-kawan bukanlah pemulihan nama baik, namun sebagai peringatan keras yang menguji integritas negara. *

Penulis:

Rubin Tarigan (Mahasiswa FH Universitas Pamulang)

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Insan Purnama

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB
X