Selain itu, literasi digital harus dimaknai lebih luas. Bukan hanya soal kemampuan teknis menggunakan gawai, tapi juga kemampuan menyampaikan gagasan dengan efektif di berbagai platform.
Anak muda perlu diberi ruang untuk berkreasi, tapi juga dibekali alat untuk tampil profesional saat dibutuhkan.
Saya percaya bahwa bahasa akan selalu berubah. Itu hukum alamnya. Yang penting bukan menahan perubahan, tapi mengarahkan agar perubahan itu tetap memperkuat fungsi bahasa sebagai alat berpikir, alat komunikasi, dan alat membangun peradaban.
Anak muda Indonesia memiliki modal besar: kreativitas, kelincahan berpikir, dan akses ke berbagai budaya melalui internet. Tugas kita adalah membantu mereka menjaga keseimbangan.
Biarkan mereka menciptakan bahasa baru, tapi pastikan mereka tidak lupa cara menulis surat yang baik. Biarkan mereka membuat lelucon dengan emoji, tapi ajarkan juga menyusun argumen yang masuk akal.
Jika kita bisa mencapainya, maka bahasa Indonesia tidak hanya akan tetap hidup, tetapi juga tumbuh dan berkembang bersama zaman-dengan jiwa muda yang segar, tapi akar yang kuat.***
Artikel ini merupakan opini yang ditulis oleh Gusdiantoro Sirait (Mahasiswa Teknik Elektro UNPAM)
DISCLAIMER: Isi artikel ini merupakan tanggung jawab penuh penulis, dan tidak mengekspresikan kebijakan dan sikap redaksi Klikanggaran.com
Artikel Terkait
Mencermati Wawasan Mahasiswa di Era Pesatnya Perkembangan Teknologi
Kampus Berdikari Melalui Program Eco Theology Linked to Food Security
Resonansi Rasa: Menyikapi ABK (Anak Berkehebatan Khusus)
Bahasa Gaul: Bayang-bayang yang Mengancam Identitas Bahasa
Bahasa Gaul di Tengah Arus Perubahan Bahasa Indonesia
Bahasa Gaul: Tantangan Atau Peluang Untuk Bahasa Indonesia?