KLIKANGGARAN--Final Liga Champions musim ini antara Inter Milan dan Paris Saint-Germain (PSG) tak hanya menjadi panggung megah bagi adu taktik pelatih dan adu bintang lapangan hijau. Lebih dari itu, laga puncak ini memperlihatkan wajah sepak bola modern yang kian hari kian dikuasai oleh kepentingan kapital global. Inter dan PSG, dua klub besar Eropa yang kini dikendalikan oleh kekuatan finansial luar biasa, sejatinya mewakili dua poros besar kapitalisme dalam dunia sepak bola.
Klub Sebagai Korporasi Global
Inter Milan, yang kini dimiliki oleh grup asal Amerika—Oaktree Capital Management—menjadi contoh nyata bagaimana klub sepak bola bertransformasi menjadi aset keuangan. Sementara PSG, yang berada di bawah kendali Qatar Sports Investments, adalah simbol soft power Timur Tengah, menggunakan sepak bola sebagai alat diplomasi internasional.
Di atas kertas, ini adalah final antara raksasa Serie A melawan raja Ligue 1. Namun di balik gemuruh sorak-sorai dan kemilau trofi, terselip pertempuran kepentingan ekonomi dan geopolitik. Sepak bola telah berubah dari sekadar olahraga menjadi alat negosiasi citra, kekuasaan, bahkan pengaruh politik global.
Inter Milan: Tradisi yang Dirombak Kapital
Inter bukan klub sembarangan. Sejarah panjang dan fanatisme tifosi Nerazzurri menjadi pondasi klub yang pernah merajai Eropa. Namun, sejak mengalami krisis finansial pasca kejayaan era Mourinho, klub ini membuka pintu lebar bagi investor asing. Dimulai dari Suning Group asal Tiongkok, hingga akhirnya berpindah ke tangan Oaktree, klub ini menjadi ilustrasi bagaimana identitas lokal terpaksa berkompromi dengan arus modal global.
Kepemilikan asing membawa stabilitas finansial dan kemampuan bersaing di pasar transfer. Tapi di sisi lain, mengikis kontrol lokal dan menjauhkan klub dari akarnya. Kini, Inter bukan hanya klub milik Milan, tapi bagian dari portofolio raksasa investasi multinasional.
PSG: Sepak Bola sebagai Alat Diplomasi
Jika Inter adalah representasi kapitalisme finansial, maka PSG adalah wajah lain dari kapitalisme negara—state capitalism—yang dimainkan Qatar. Lewat PSG, Qatar berhasil menyusup ke dalam jantung budaya populer Eropa, menggabungkan kekuatan ekonomi, olahraga, dan politik luar negeri. Investasi besar dalam pemain bintang bukan hanya soal membangun tim juara, melainkan juga membangun narasi Qatar sebagai kekuatan global yang modern dan inklusif.
Final ini pun menjadi panggung pamungkas misi Qatar, bahwa sepak bola bisa menjadi alat untuk mengubah persepsi dunia—bahwa Qatar bukan hanya negara kecil di Teluk, tapi juga aktor utama di pentas global.
Sepak Bola Modern: Milik Siapa?
Pertarungan Inter vs PSG bukan lagi sekadar siapa yang lebih tajam dalam serangan atau siapa yang lebih kokoh dalam bertahan. Ini adalah benturan antara dua model kapitalisme dalam sepak bola: kapitalisme finansial ala Amerika versus kapitalisme negara ala Timur Tengah.
Pertanyaan mendasarnya adalah: sepak bola ini milik siapa? Apakah milik para suporter yang telah mendukung sejak generasi ke generasi? Atau milik para investor yang melihat klub sebagai instrumen profit dan pengaruh?
Semakin jelas bahwa sepak bola Eropa kini menjadi arena para konglomerat. Trofi bukan lagi simbol supremasi olahraga semata, tetapi juga representasi keberhasilan strategi bisnis dan citra global. Fans menjadi konsumen, klub menjadi brand, dan stadion berubah menjadi arena iklan tak berujung.
Artikel Terkait
Inilah Sosok Kevin Arthur, Calon Suami Mawar AFI Viral di Media Sosial, Siapa Sebenarnya?
Sampaikan Bela Sungkawa Kepada Korban Longsor Galian C Gunung Cirebon, Kang Dedi Mulyadi Pastikan Tambang Ditutup Selamanya
Jejak Kekuasaan dalam Organisasi yang Retak
Peringati Hari Perawat Internasional, Ribuan Perawat Berkumpul di Luwu Utara
Jelang Final Liga Champions: Tahun Penuh Kejutan dalam Dunia Sepak Bola