KLIKANGGARAN -- Perkembangan teknologi digital yang pesat membawa dampak signifikan terhadap berbagai aspek kehidupan, termasuk bahasa yang digunakan sehari-hari. Fenomena ini semakin terasa nyata ketika kita mengamati bahasa yang digunakan oleh anak-muda saat ini. Seringkali kita mendengar ungkapan-ungkapan kasar, tidak sopan, bahkan cenderung vulgar yang kerap kali diucapkan secara casual.
Baik di lingkungan rumah maupun lingkungan pendidikan kita selalu dikelilingi dengan anak-anak. Baik sengaja maupun tidak disengaja sering sekali terdengar ucapan anak-anak yang dirasa kurang enak didengar seperti nama-nama hewan dan kata-kata perilaku menyimpang. prihatin anak muda sekarang paling sering mengedepankan pikiran emosional daripada pikiran rasional. Kecerdasan emosional anak muda saat ini cenderung lemah.
dan yang tidak lain tidak bukan bahasa yang ditemukan merupakan bahasa yang sering ditemukan di youtube, banyak konten creator yang sering sekali mengutamakan luapan emosional menggunakan bahasa yang kurang sopan dan kita tahu anak-anak adalah peniru yang piawai. Sehingga tanpa perlu mengetahui makna kata-kata yang didapat dari youtube jika itu terdengar keren, membuat diri lebih percaya diri anak tidak akan ragu untuk meniru.
Orang yang lebih sering menonton podcast-podcast “serius” akan lebih cenderung kaya akan kosakata dari pada yang lebih sering menonton video streaming bertemakan gaming karena biasanya para konten creating gaming tidak memiliki konsep video yang matang, tidak ada pemilihan bahasa yang hati-hati. Berbeda dengan podcast serius yang lebih mengedepankan manfaat konten, lebih hati-hati dalam memilih bahasa, hati-hati dalam memilih narasumber bahkan lebih hati-hati dalam mengangkat suatu isu. Sehingga informasi yang disampaikan tidak mengundang banyak persepsi di masyarakat.
Sehingga saya sebagai pendidik merasa sedih sekali mendengar anak-anak yang berbicara terhadap lawan bicara sabayanya yang menggunakan bahasa kasar dan tidak sopan sampai berada pada fase lumrah jika anak-anak mengucapkan bahasa kasar.
Menurut (Sharif & Roslan, 2011), remaja melakukan hal yang bertolak belakang dengan norma disebabkan karena teman yang memiliki keinginan dan pendapat serupa dengan mereka.
Remaja merasa senang jika berperilaku tidak benar dan tidak sopan bersama teman sebayanya. Mirisnya, banyak dari remaja ini malah terjebak pergaulan yang membuat mereka tersesat, rugi bahkan hingga ke arah perbuatan kriminal (Hasanusi, 2019).
Sebagai contoh, kata-kata kasar yang dilontarkan antara lain, bego, tolol, sialan, brengsek, goblok, dan lainnya untuk menggambarkan atau meluapkan perasaan.
Berangkat dari keresahan diatas bisa kita simpulkan anak-anak sudah menjadi hal yang langka bersahabat dengan literasi, tidak seperti remaja ditahun 90-an dan 2000-an yang sangat melekat pada literasi seperti majalah bobo.
Banyak konten kreator di YouTube yang mengutamakan sensasi dan hiburan instan dengan menggunakan bahasa yang provokatif dan tidak sesuai dengan norma kesopanan. Anak-anak, sebagai generasi yang sangat akrab dengan teknologi, dengan mudah meniru gaya bahasa yang mereka lihat dan dengar dari konten-konten tersebut. Mereka menganggap bahwa penggunaan bahasa kasar adalah hal yang keren dan dapat meningkatkan popularitas mereka di kalangan teman sebaya.
Padahal, penggunaan bahasa yang baik dan santun adalah cerminan dari kualitas diri seseorang. Bahasa yang kasar tidak hanya merusak citra diri, tetapi juga dapat memicu konflik dan permusuhan. Selain itu, penggunaan bahasa yang tidak tepat juga dapat menghambat perkembangan kognitif anak, karena mereka akan kesulitan untuk berpikir secara kritis dan logis jika terbiasa menggunakan kata-kata yang ambigu dan tidak memiliki makna yang jelas.
Peran keluarga dan sekolah dalam hal ini sangatlah penting. Orang tua perlu menjadi contoh yang baik bagi anak-anak dengan menggunakan bahasa yang santun dalam kehidupan sehari-hari. Sekolah juga harus memberikan pendidikan bahasa yang komprehensif, tidak hanya mengajarkan tata bahasa, tetapi juga menanamkan nilai-nilai moral dan etika dalam berkomunikasi.
Selain itu, pemerintah perlu membuat regulasi yang lebih ketat terkait konten digital, terutama yang ditujukan untuk anak-anak. Platform media sosial juga perlu bertanggung jawab dalam menyaring konten yang berpotensi merugikan pengguna, terutama anak-anak.
Degradasi bahasa yang terjadi pada anak muda saat ini merupakan masalah yang kompleks dan membutuhkan penanganan yang serius dari berbagai pihak. Jika tidak segera diatasi, masalah ini dapat berdampak buruk pada generasi mendatang. Oleh karena itu, kita perlu bekerja sama untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi tumbuh kembang bahasa yang baik dan santun.
Penulis: Muhammad Brilyan (Mahasiswa Sistem Informasi Universitas Pamulang)
Artikel Terkait
Hasil Asesmen Smart City Kementerian Kominfo RI, Batang Hari Mendapatkan Rangking ke-8 Se-Indonesia
Inilah Sosok Alsa Shawty alias Cc.Alsaa yang Diduga jadi Selingkuhan Young Lex, Siapa Sebenarnya?
Apakah Sistem Multi Partai Masih Relevan?
Tersangka Investasi Bodong Batu Bara, Sekda M.Azan Ajukan Penangguhan Penahanan
Profil Indira Sudiro, Puteri Indonesia 1992 Awet Muda, Siapa Sebenarnya?
Festival Seni dan Budaya Kombong Pitu Masapi Resmi Digelar, Diharap Jadi Penguat Karakter Budaya Luwu Utara
Warga Babah Lueng Datangi Polsek Darul Makmur menanyakan Kejelasan Terkait Laporan Pemukulan Di Lahan Plasma PT. SPS II/ PT. ARGINA Yang Terkesan Di B
Kronologi dan Alasan Habiburokhman Dipanggil 'Tessy' Tren di Media Sosial X, Sebut Mahfud MD Orang Gagal
Bahasa Indonesia: Jembatan Budaya atau Sekadar Alat Komunikasi?
Inilah Ragam Bahasa Gen Alpha yang Sedang Tren