KLIKANGGARAN -- Pada era 1970-an, Tiongkok berada pada titik kritis dalam sejarahnya. Di bawah kepemimpinan Deng Xiaoping, negara ini mulai melaksanakan serangkaian reformasi besar yang membawa Tiongkok dari negara berkembang menjadi kekuatan ekonomi dunia. Salah satu pilar utama dari transformasi ini adalah kebijakan anti-korupsi yang tegas, reformasi ekonomi, dan terbukanya investasi asing.
Salah satu langkah paling signifikan adalah penguatan undang-undang anti-korupsi, yang termasuk hukuman mati bagi pejabat yang terbukti bersalah. Pengawasan keuangan negara diperketat, dengan penggunaan teknologi canggih seperti pengenalan wajah berbasis kecerdasan buatan untuk mengawasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Teknologi ini digunakan untuk memastikan transparansi dalam pelayanan publik dan pengadaan barang dan jasa, serta mencegah penyalahgunaan dana publik.
Presiden Tiongkok ke-5, Zhu Rong Ji, terkenal dengan pernyataan kerasnya, "Sediakan 100 peti mati, satu untukku jika aku terlibat korupsi, dan sisanya untuk pejabat yang terbukti bersalah." Pernyataan ini menunjukkan komitmen kuat Tiongkok untuk memberantas korupsi, yang kemudian dilanjutkan oleh pemimpin-pemimpin berikutnya, termasuk Presiden Xi Jinping.
Selain pemberantasan korupsi, Tiongkok juga berinvestasi besar-besaran dalam pembangunan infrastruktur, seperti jalan raya, kereta cepat, pelabuhan, dan bandara. Langkah ini mempermudah distribusi barang dan meningkatkan mobilitas penduduk, yang berujung pada penguatan perekonomian dan peningkatan kualitas hidup masyarakat.
Dukungan terhadap industri strategis seperti teknologi, manufaktur, dan energi menjadi prioritas. Subsidi dan insentif diberikan untuk membantu perusahaan domestik berkembang dan bersaing di pasar global. Selain itu, tenaga kerja murah dan terampil di Tiongkok menjadi daya tarik utama bagi perusahaan asing yang ingin memproduksi barang dengan biaya rendah.
Tiongkok juga menerapkan strategi “Amati, Tiru, dan Modifikasi” (ATM) dalam pengembangan teknologi tinggi. Dengan fokus pada kecerdasan buatan, teknologi 5G, dan bioteknologi, Tiongkok berhasil mengembangkan ekonomi digital yang mendorong inovasi dan daya saing di pasar internasional.
Pemerintah Tiongkok mempromosikan urbanisasi besar-besaran yang mendorong konsumsi domestik dan menciptakan peluang ekonomi baru. Di sisi lain, Tiongkok tetap mempertahankan fokus pada industri ekspor, memanfaatkan biaya produksi rendah untuk menjadi pemasok utama produk-produk global. Pendekatan ini membawa masuk devisa dalam jumlah besar, yang kemudian dikonversikan ke dalam Yuan dan disimpan di Bank of China untuk menjaga stabilitas ekonomi.
Berbeda dengan Tiongkok yang mengonversikan hasil ekspor ke dalam mata uang domestik, banyak pengusaha di Indonesia justru menyimpan hasil ekspor di bank asing dalam mata uang asing. Praktik ini dapat berisiko memperburuk ketergantungan pada mata uang asing dan menghambat penguatan perekonomian nasional.
Tiongkok juga melancarkan kampanye anti-korupsi berskala besar yang menargetkan pejabat tinggi dan rendah.
Melalui operasi "Fox Hunt", Tiongkok bekerja sama dengan Interpol dan negara lain untuk menangkap dan memulangkan koruptor yang melarikan diri ke luar negeri. Selain itu, pendidikan moral dan pelatihan etika terus digalakkan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahaya korupsi.
Dukungan publik terhadap kampanye ini sangat tinggi, dan hasilnya, kasus korupsi di Tiongkok mengalami penurunan yang signifikan. Bahkan, hukuman berat, termasuk hukuman mati, diterapkan untuk memberikan efek jera bagi pelaku korupsi.
Keberhasilan Tiongkok dalam bertransformasi menjadi negara maju bukanlah hasil instan. Dibutuhkan keberanian untuk melakukan perubahan besar dalam kebijakan hukum, ekonomi, dan sosial.
Indonesia bisa belajar banyak dari langkah-langkah yang diambil oleh Tiongkok, terutama dalam hal pemberantasan korupsi, pembangunan infrastruktur, dan kebijakan yang mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. Saatnya kita bertanya, kapan Indonesia akan mengikuti jejak langkah Tiongkok?
Artikel ini merupakan sebuah opini yang ditulis oleh Yus Dharman, SH., MM., M.Kn, Advokat/Ketua Dewan Pengawas FAPRI (Forum Advokat & Pengacara Republik Indonesia)
Artikel Terkait
Dikotomi Single Bar Vs Multi Bar, Organisasi Advokat Tidak Perlu Diperdebatkan
Pentingnya Metode Scaffolding Dalam Pendampingan Belajar
Pembelajaran Pancasila Dan Kewarganegaraan Dalam Menanamkan Etika dan Moralitas Usia Remaja Siswa
Modul Ajar Berdiferensiasi Guna Meningkatkan Kualitas dan Hasil Belajar Siswa
Mengenal Modul Ajar Berdiferensiasi
Are lecturers satisfied with just a big salary at their institution?