KLIKANGGARAN--Nostalgia? Ya, tidak salah. Tidak sedikit warga yang bermukim di Tana Luwu, sekitar 1990 hingga awal 2000 pernah menikmati “berkah luar biasa” dari usahatani kakao. Pendapatan dari usahatani kakao zaman itu benar benar menjadi andalan sumber ekonomi rumah tangga keluarga petani. Warga bisa naik haji, umrah, sekolahkan anak ke jenjang perguruan tinggi, bangun rumah permanen dan belanja kendaraan dari hasil bertani kakao.
Paling tidak, hasil usahatani kakao waktu itu menjadi tambahan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari bagi keluarga yang bukan petani murni (kalangan pegawai yang juga berkebun kakao).
Perlahan “pamor” kakao meredup. Tanaman kakao di kebun-kebun warga sudah tidak produktif. Di samping usianya memang sudah kategori tanaman tua, serangan hama penyakit yang mendera juga tak mampu “dihalau'” oleh petani kakao.
Baca Juga: Dukung Smart City, Pusat Komando Dibangun di Ibu Kota Nusantara
Fenomena tanaman kakao hanya sampai pada titik ”ramai bunga”, namun jarang buah adalah fakta dan menjadi keluhan petani kakao. Warga perlahan meninggalkan usahatani kakao, beralih ke tanaman sawit yang dirasa lebih menjanjikan kesejahteraan.
Hari ini, harga kakao kering (biji asalan non fermentasi) sudah melampaui Rp70.000/kg, terus naik mendekati harga Rp100.000/kg. Harga biji kakao basah pun cukup tinggi, di kisaran Rp24.000/kg sampai Rp27.000/kg. Rupanya kenaikan harga kakao di kisaran tersebut tidak serta merta memantik minat petani untuk kembali bertani kakao. Terlebih bagi mereka yang sudah beralih ke komoditi kelapa sawit.
Kondisi faktual di atas menjadi tantangan bersama dalam mengembalikan kejayaan usahatani kakao di Tana Luwu. Segala ikhtiar yang telah dilakukan oleh para pihak yang berkepentingan tentu kita apresiasi.
Harapannya, para “ahli kakao” kita ini bisa mengidentifikasi sumber atau titik masalah mendasar dalam budidaya kakao, dan menemukan rekomendasi solusi konkrit untuk memperbaiki kondisi faktual yang dihadapi.
Obrolan sersan saya dengan teman sejawat di basecamp kami, boleh juga menjadi catatan penting. Ringkasnya, kami sepakat bahwa lahan kakao rakyat di Tana Luwu terindikasi sudah “tidak sehat” dan tidak lagi mengandung beragam hara esensial yang memadai untuk menunjang pertumbuhan dan produksi kakao.
Bahkan diduga tanah kebun kakao rakyat justeru sudah mengandung residu bahan kimia dari penggunaan herbisida dan pupuk kimia. Maka langkah penting untuk dilakukan yakni ikhtiar menyehatkan tanah dengan penggunaan bahan organik dosis tinggi, produk pembenah tanah dan implementasi anjuran agroforestry dalam pengelolaan kebun kakao .
Hal lain yang mungkin bisa memantik semangat petani kembali tertarik untuk budidaya kakao, yakni edukasi pemanfaatan biji kakao sebagai bahan minuman segar dan pangan olahan berbasis bubuk kakao.
Baca Juga: Buka Kongres XXIII PGRI, Presiden Jokowi: Sekolah Harus Jadi ‘Safe House’ bagi Siswa
Untuk hal ini, saya sudah memulainya, mendemonstrasikan cara sederhana mengolah biji kakao sebagai bahan minuman penyegar (teh kakao dan hot cokelat) di pertemuan kelompok tani penerima manfaat program READSI di desa Pembuniang kecamatan Malangke Barat (Malbar). Alhamdulillah, direspon positif oleh ibu-ibu dan bapak-bapak petani kakao. Semoga kakao kembali jaya dan mengantar petani kakao meraih sejahtera, aamiin (*)
Artikel Terkait
Kota Palopo Raih Dua Penghargaan Nasional Baznas Awards 2024
Budiman Harap MTQ X Kabupaten Luwu Timur Dapat Tingkatkan Nilai-nilai Agama dan Budaya
Jadwal Ceramah Ustaz Das’ad Latif Makin Padat di Maret 2024, Adakah di Kotamu?
Masifkan Publikasi Seputar Pariwisata, Kepala DPMPTSP Apresiasi UPT Pariwisata