gaya-hidup

Bijak Melempar Pendapat

Jumat, 29 Oktober 2021 | 09:02 WIB
ilustrasi (@sekar_mayang)

Lantas, saat sesuatu terjadi tidak sesuai dengan bayangan indah tersebut, mulailah diri bertanya-tanya: mengapa jadi begini, padahal harusnya begitu? Begitu penyebab masalah ditemukan, hasrat menghakimi muncul dengan sendirinya, tanpa disadari. Hadirlah sekian banyak kalimat yang diharap bisa membawa kembali kondisi ideal sesuai dengan bayangan indah tadi.

Belum ideal juga? Maka, sekian banyak kalimat lagi akan meluncur. Padahal, seringnya, saat kalimat-kalimat itu telah meluncur, kita amat jarang memikirkan efeknya bagi sekitar. Adakah yang bereaksi atas ucapan kita?

Baca Juga: Facebook Umumkan Rebranding Menjadi Meta

Oh, tentu saja.

Maka, ketika ada reaksi, kita tanpa sadar akan bereaksi juga. Terus-menerus begitu, entah sampai kapan, entah siapa yang menang dan siapa yang kalah. Tidak ada yang bisa menebak.

Sebenarnya tidak masalah. Dengan begitu, hidup jadi memiliki dinamika. Naik dan turunnya tensi atau ketegangan akan membuat gairah hidup tidak pernah mati. Namun, perlu diingat, tidak semua manusia memiliki ketahanan sekelas Lucinta Luna terhadap julidan netizen. Tentu saja ada yang supersensitif dalam memaknai sebuah pendapat.

Bayangkan jika individu supersensitif tersebut menerima komentar ‘sederhana’ semacam, “Eh, kamu agak gemukan, ya.” Otaknya mungkin langsung menganalisis keadaan saat itu. Ia akan beranggapan tubuhnya memang menggemuk karena yang bicara adalah orang yang telah lama tidak pernah melihatnya secara langsung, bahwa tubuhnya langsung merasa pakaian yang sekarang dikenakan memang agak sempit dari biasanya.

Baca Juga: Sejarah Bank Sumsel Babel, Tiga Kali Berganti Nama, dan Tahunnya Berdiri

Nah, apa kabar manusia yang hobinya bicara banyak, baik lisan maupun tulisan, tetapi isinya tidak memiliki dasar? Isinya memang buah pemikirannya, tetapi bersumber dari antah-berantah atau teori yang ia ciptakan sendiri. Istilah kerennya adalah ilmu cocoklogi.

Yang model begitu tak terhitung jumlahnya. Mudah sekali ditemui, tetapi amat sulit diberantas. Sebab, ia tidak hanya membahayakan diri sendiri, tetapi juga mengajak orang lain untuk ikut ‘nyemplung’ menghadang marabahaya. Dan, jika diingatkan, ia tentu merasa tidak sedang dalam bahaya, merasa pula tidak sedang membahayakan orang lain.

Kekhawatiran terbesar adalah ketika kebengkokan-kebengkokan itu mulai dipercaya sebagai kebenaran sebab telah digaungkan berjuta-juta kali. Padahal, awalnya sebuah komentar kecil semacam, “Eh, ternyata si A itu orangnya anu, anu, dan anu.” Akan tetapi, setelah dilempar ke khalayak, ditangkap, diolah secara serampangan tanpa memeriksa fakta, akhirnya meledak.

Baca Juga: Ketersediaan Oksigen di Planet Bumi untuk Manusia

Tentu kita tidak bisa tinggal diam. Perubahan memang tidak bisa instan dan masif, tetapi bisa kita mulai dari diri sendiri.

Coba ingat-ingat lagi, kapan terakhir kali kita mengemukakan pendapat yang ternyata berefek menyakiti perasaan orang lain? Ingat-ingat, bagaimana reaksi orang tersebut terhadap pendapat kita.

Jika ia baik-baik saja (yang jelas saya ragukan kebenarannya), kita mungkin tidak perlu khawatir. Berarti ia memiliki pengendalian diri yang luar biasa terhadap apa yang terjadi di sekitarnya. Akan tetapi, jika ternyata ia menjadi terpuruk karena pendapat kita, ini sebuah PR besar.

Halaman:

Tags

Terkini