KLIKANGGARAN-- Sejak lahir, manusia memiliki sejumlah hak dalam menjalani hidup. Hak mendapat oksigen, mendapat penghidupan yang layak, merdeka atas dirinya sendiri, termasuk juga hak untuk mengemukakan pendapat.
Dalam KBBI daring, pendapat diartikan sebagai buah pemikiran atau perkiraan tentang suatu hal (seperti orang atau peristiwa); kesimpulan (sesudah mempertimbangkan, menyelidiki, dan sebagainya); anggapan (diakses 28 Oktober 2021).
Jadi, jelas, tiap individu memiliki hak mengemukakan buah pemikirannya tentang apa pun. Yang menjadi perhatian adalah, apakah pendapat tersebut tepat sasaran?
Baca Juga: Sekalipun Zuckerberg Rebranding Facebook Menjadi 'Meta', Media-Politik Tak Akan Hentikan Serangan
Jamak diketahui, media sosial sudah menjadi semacam arena pameran. Siapa pun bebas memajang foto makanan, jurnal perjalanan ke tempat-tempat indah, sampai pamer status hubungan dengan orang lain. Sah-sah saja dan lumrah awalnya.
Namun, polemik muncul saat negara api menyerang, eh, saat ada yang berkomentar di luar kelumrahan. Satu orang, masih bisa ditangani. Dua orang, masih cukup energi untuk membalas. Hanya saja, ketika sudah ramai pendapat miring, kita harus mundur selangkah dan mulai mencari tahu: DI MANAKAH LETAK SALAHNYA?
Seharusnya memang tidak ada yang salah, pun bukan berarti hal itu dianggap benar. Media sosial memang lahan untuk pameran. Lantas, apakah kita harus ambil pusing jika orang lain memamerkan dirinya yang baru saja makan seblak di pelataran Menara Eiffel?
Baca Juga: Makna Sumpah Pemuda buat Pejabat
Terkadang, saya sengaja menengok pos dari sebuah jenama media hanya untuk membaca kolom komentar. Yak, seperti dugaan saya, buaaanyak komentar yang akhirnya tidak sesuai dengan konteks artikel yang diposkan.
Artikelnya membahas kunjungan pejabat ke sebuah tempat dalam rangka penyaluran bantuan bencana, tetapi komentarnya bisa membawa-bawa akhlak si pejabat hanya karena beliau pernah ketahuan tidur di ruang rapat atau pernah kedapatan memiliki affair dengan selebritas. Yang merasa berafiliasi dengan si pejabat, jelas tak mau ketinggalan menjabarkan pendapatnya. Dan, yang tidak berafiliasi, sudah pasti menyiapkan molotov berdaya ledak ruar binasa untuk dipajang di kolom komentar.
Saya? Ya, hanya bisa bernapas sambil menahan tawa. Betapa lucunya manusia.
Otak manusia memang organ yang rumit. Ia memiliki miliaran saraf yang saling terhubung. Ada penelitian menyebutkan bahwa tiap manusia menerima satu bentakan, satu saraf akan terputus. Sudah barang tentu, putusnya saraf akan memengaruhi kinerja otak.
Baca Juga: French Open 2021: Enam Wakil Indonesia Maju Perempat Final, Shesar Ketemu Kento Momota
Di otak, semua hal diproses. Segalanya. Mulai dari hal remeh seperti memilih baju apa yang ingin dipakai hari ini, sampai hal rumit yang melibatkan risiko besar (baca: memilih dan mencari jodoh). Tiap probabilitas ditakar dan diperhitungkan. Bayangan indah mulai terbentuk.
Artikel Terkait
Cerita Mistis dan Teror Rumah Angker di Lereng Lawu Bagian Tiga
Cerita Mistis Makam Keramat Murid Pangeran Diponegoro di Sleman
Sumpah Pemuda Terlupakan, Halloween Dirayakan
Untuk Drakor dan Pandemi, Katakan, Saya Tak Ada Waktu untuk Sedih!
Membaca: Memaknai Simbol
Cerita Mistis di Parangkusumo, Kisah Para Pengabdi Ratu Pantai Selatan
Generasi Z, Mari Kita Menjunjung Tinggi Bahasa Indonesia dengan Tiga Sikap!
Cerita Mistis di Balik Gedung Tinggi, Siksaan Pasang Susuk dan Terkena Santet