Datanglah ke rumah bersama Pak Ahmad. Mama tunggu. Salam sayang.
Begitu pesan yang ditulisnya di secarik kertas yang dibawa Pak Ahmad, sopirnya. Dan, aku harus izin dulu ke kantor karena pesan itu terlihat sangat penting.
“Halo, Sayang. Maaf ya, Mama baru selesai mandi.”
Mama keluar dari kamarnya dengan wajah berseri. Tampak segar dengan rambutnya yang masih setengah basah. Harumnya sangat akrab di hidungku ketika dia memelukku. Rasanya seperti sedang memeluk mamaku sendiri. Kehangatan, kelembutan, dan kasih sayangnya, benar-benar telah mengisi kekosongan yang lama kurasakan.
“Terima kasih sudah memenuhi panggilan Mama, ya.”
“Ada apa Mama memanggilku?” tanyaku tak sabar bercampur heran.
Baca Juga: Foto Presenter TV di Kirgistan Ini Menyulut Kemarahan Warganet
Kulihat wajah Mama cerah sekali, tak ada tanda-tanda kesedihan atau kecemasan. Mama menatapku sambil tersenyum, lalu duduk dengan tenang. Aku menatapnya kebingungan. Menunggu.
“Apa kabarmu, Sayang?”
“Baik, Ma. Satu minggu ini di kantor sibuk sekali, jadi nggak sempat ke sini.”
“Nggak apa-apa, yang penting kamu sehat.”
“Makasih, Ma.”
“Mama hanya sedang berpikir belakangan ini.”
“Mengenai apa, Ma?”
“Tentang kamu.”