Rama meletakkan jaket Jeans belelnya di kursi, lalu berjalan ke arah jendela. Menyalakan kretek dengan angkuh, menatap diam-diam ke rumah kaca di seberang jalan. Yang ditunggunya tak nampak sekelebat pun.
Ditatapnya lagi dengan geram rumah kaca itu, lalu berjalan keluar kamar dengan wajah tak sabar. Dilemparnya puntung yang masih panjang begitu saja ke tong sampah tanpa peduli baranya bisa membakar benda yang lain.
Rumah kaca di seberang jalan itu malam ini membuat kepalanya ingin mengepulkan asap. Entah sudah berapa kali lelaki muda itu hilir mudik dari jendela ke kursi. Tak Nampak juga yang ditunggunya.
“Mau kemana, Ma?” tanya Dodit, sahabatnya.
Baca Juga: Lelaki di Balik Layar 1
“Ngalong,” jawab Rama singkat dan langsung melesat ditelan kegelapan.
Tak digubrisnya tatapan heran teman-teman kosnya. Tak dipedulikannya sahabatnya, Dodit, yang akan menikah dengan Ratih. Rama seperti tak peduli juga dengan sikapnya yang tak menentu.
Di luar rumah kos, dengan geram diletakkannya pantat di batu kecil, lalu duduk diam-diam menatap rumah sepi di seberang jalan. Ingin diketuknya pintu yang tertutup rapat di sana, tapi yang dilakukannya hanya memainkan asap putih mengepul dari bibirnya.
Dodit menyalakan kreteknya sambil berdiri diam-diam mengawasi sahabatnya dari jauh, dari balik kegelapan malam bersimbah purnama. Mata awasnya terus mengawasi, kemudian sambil menghela napas berjalan mendekat. Setengah terkejut Rama melirik Dodit yang sudah ada di dekatnya.
Baca Juga: Lelaki di Balik Layar 2
“Mau ngapain ke sini?” tanyanya galak.
“Nah, kamu sendiri ngapain jongkok di sini?”
“Aku duduk, nih. Batunya kecil aja jadi keliatan jongkok.”
“Aku tahu. Maksudku ngapain duduk di sini malam-malam?”