Aku juga tidak tahu. Aku menemukan Moy hidup sendirian. Ia tinggal dengan seorang wanita muda yang membantunya dalam segala hal di rumah itu. Fisik Moy amat sehat, beberapa luka tampak sembuh dengan baik, tetapi yang lainnya, sakit luar biasa.
“Jadi, Ru,” Moy membuyarkan lamunanku, “apa ibumu menerima segalanya soal Yuna?”
Helaan napasku yang penuh beban mungkin bisa terdengar sampai luar angkasa.
***
Baca Juga: Dua Gelas Kisah Bagian Sembilan
Bicara soal Ibu, berarti bicara soal kasih sayang dan pengampunan tiada batas. Dan, memang itulah yang terjadi. Aku menjadi anak kecil lagi di hadapan ibuku. Anak kecil yang menagih pelukan setiap terjatuh, menagih ungkapan sayang setiap kali berbuat baik, menagih kecupan selamat malam sebelum tidur. Semua hal yang tentunya pernah kudapat di masa kecil, tetapi sudah kulupakan seiring usia.
Ibu tidak mau tahu soal Yuna. Bahkan, Ibu tidak berharap mendengar nama Yuna diucapkan di rumahnya. Tentu saja Ibu menerimaku dengan tangan terbuka, benar-benar merawatku. Sebab, begitu aku sampai di rumah Ibu, aku pingsan. Lambung dan paru-paruku bermasalah akibat satu minggu hidup tidak jelas. Jatah cutiku tahun itu kuhabiskan untuk benar-benar beristirahat, bahkan mengambil dua minggu cuti tak berbayar. Satu bulan rasanya cukup. Aku juga rindu dengan pekerjaanku.
Minggu-minggu menjelma bulan. Aku masih di rumah Ibu. Rumahku sendiri? Entah. Aku mengirim pesan pada Yuna bahwa kunci rumah aku bawa. Jika ingin mengambil sesuatu, ia bisa meminta kuncinya pada ibuku. Namun, Yuna tidak kunjung muncul. Ia memang beberapa kali membawa anak-anak ke rumah Ibu untuk bertemu denganku. Meski terbilang singkat, aku cukup senang.
Baca Juga: Dua Medali Perunggu Disabet pada IESO 2021, Ini Dia Tim Indonesia Perwakilan dari Tujuh Kota
Sempat aku bertanya pada Kirana dan Dira, siapa saja yang ada di rumah baru ibu mereka. Kirana menjawab hanya ada empat orang: Yuna, anak-anak, dan satu orang lelaki dewasa. Kirana dan Dira diharuskan menyebut Papa pada lelaki itu. Mendengarnya, hatiku mencelos.
“Biarkan saja, Ru,” kata Ibu sambil mengelus-elus kepalaku seusai aku cerita soal anak-anak. “Biarkan perempuan itu melakukan apa yang ia suka. Tuhan tidak pernah tidur. Kita kerjakan saja tugas dan kewajiban kita di dunia ini.”
“Iya, Bu.”
Yang tidak kalah menjengkelkan, Yuna tidak mau diajak berdiskusi soal urusan cerai. Katanya, “Nanti aku yang urus.”
Nanti yang benar-benar berbilang bulan. Tahu-tahu, Yuna memberi kabar bahwa surat putusan sudah keluar. Apa-apaan ini? Bagaimana ceritanya surat putusan bisa terbit tanpa adanya mediasi dan sidang? Aku bingung. Jika aku tidak mengantongi surat putusan itu, beberapa hal nantinya tidak bisa aku kerjakan. Itu menjengkelkan.
Dan, kalian tahu apa lagi yang lebih menjengkelkan? Seorang teman memberi tahuku perihal lelaki yang bersama Yuna saat ini. Aku diarahkan menuju akun media sosial si lelaki. Kulihat nama Yuna beberapa kali muncul di postingan lelaki itu—lelaki yang bernama Dean.