Kedua mempelai itu tersenyum padanya, lalu meneruskan berjalan memasuki gedung. Rinjani ingin memanggil, tapi tak ada suara keluar dari bibirnya. Tangannya ingin menggapai, tapi kedua mempelai itu sudah lenyap ditelan dinding gedung mewah.
Rinjani yang kebingungan berlari keluar gedung. Sampai di tengah jalan, hujan menyambutnya dengan gegap-gempita. Dia terus berlari menerobos hujan, meratap di tengah padatnya malam. Gaunnya basah melekat pada tubuh tak dia pedulikan.
“Aku ingin pulaaang!” jerit Rinjani dengan suara menyayat. Pandangan matanya kabur penuh serpih air hujan yang kian deras mengguyur malam. Bibirnya bergetar entah ingin berkata apa. Bayangan sang kekasih di pelaminan bersama gadis pilihannya menerkam hati Rinjani, lalu wajah Damar berkelebat.
“Damar?” Rinjani menghentikan larinya, berjalan terhuyung di tengah jalan. “Lalu, siapa lelaki tadi? Dia bukan Damar. Kenapa dia membawaku ke dalam gedung mewah itu? Kenapa aku di sini?”
Tiba-tiba sepasang lampu bulat menyorot dari kejauhan, semakin dekat dan terang. Seperti taring, lampu itu dengan ganas menyinari wajah Rinjani yang berdiri di tengah jalan raya. Pengemudi di dalam mobil itu tak dapat lagi menguasai laju kendaraannya. Dan, tanpa ampun lampu itu menerkam tubuh Rinjani, yang segera terpelanting dan melayang ke udara, bersama hembusan angin dan hujan kian deras. Darah segar menghiasi jalanan basah itu bersama air mata sang mempelai bergaun hitam.--
Rinjani terbangun bermandi peluh saat ponsel di sampingnya berbunyi. Dibukanya pesan dengan tangan gemetar. Wajah lelaki itu masih melekat dalam hitam bola matanya, mengirim pesan seperti bisikan, “Jangan pergi, Rinjani..."
Tangannya yang masih gemetar meraih botol air mineral di meja, meneguk dengan cepat, mencoba mengusir perih di dada yang kembali menghunjam. Setiap mimpi itu datang, dia merasakan sakit tak terhingga di dadanya. Tangannya yang masih gemetar membuka pesan di ponsel, dari Damar. "Pernikahan kita makin dekat, jaga kesehatan, ya."
“Huft, kenapa mimpi itu lagi?” Rinjani menangkup kedua telapak tangannya di wajah, lalu mendongak melihat jam dinding. Jarum di sana hampir menunjuk ke angka tujuh. Gadis itu melompat berdiri, lalu berjalan cepat ke kamar mandi sambil bergumam, “Aku hampir melewatkan Sholat Maghrib.”
*
Malam itu, di bulan kesekian, tepat di malam Jumat Kliwon, Desa Wingit sungguh sedang diliputi suasana mistis yang pekat. Angin berdesir lembut, tetapi membawa aura tak kasat mata yang mencekam. Warga desa memilih mengurung diri di rumah, mengikuti petuah para tetua yang mengatakan bahwa malam ini adalah waktu di mana batas antara dunia manusia dan dunia lain begitu tipis.
Di balik gelapnya malam, seorang pemuda bernama Damar berjalan menuju rumah tunangannya, Rinjani. Besok adalah hari pernikahan mereka, dan Damar ingin datang untuk memastikan semua persiapan telah sempurna. Hati Damar berdebar bukan karena takut, tapi karena sedemikian bahagia menyambut hari besar dalam hidupnya.
Sesampai di rumah Rinjani, suasana terasa berbeda. Rumah yang biasanya hangat dan ramai itu, malam ini tampak sunyi dan dingin. Lampu rumah bersinar temaram, pintu depan sedikit terbuka. Damar mengetuk pintu perlahan, tak ada jawaban. Setelah beberapa kali mengetuk masih tak ada jawaban, ia mendorong pintu perlahan, lalu masuk ke dalam dengan langkah ragu.
"Rinjani?" panggil Damar. “Mbok?” Hanya gema suaranya yang terdengar.
Sampai di ruang tengah ia melihat Rinjani berdiri, mengenakan baju pengantin berwarna hitam yang begitu indah. Tetapi, ekspresi wajahnya kosong, mata hitamnya menatap lurus tanpa emosi. Damar merasakan bulu kuduknya berdiri.
Artikel Terkait
Cerita Mistis dari Dieng, Suara Denting Sendok dan Cangkir
Kisah Mistis Besari, Perempuan Berperut Balon
Horor Malam Jumat Kliwon: Rumi di Bukit Terlarang