Saya menilai, ia mungkin salah satu dari sekian banyak penulis cerita dewasa yang tidak peduli cibiran kelompok berdogma mana pun. Baginya, seni adalah seni. Tidak boleh dibatasi apa pun. Batas itu hanya boleh berasal dari diri sendiri.
Akan tetapi, di balik kisah Ali Gempil (cerpen Banci Gento) yang awalnya terkesan kocak, ada dukacita yang coba diceritakan Gunawan. Ini tentang keadilan, tentang pemenuhan kebutuhan, tentang keinginan untuk diakui. Dan, ya, tetap, sebagaimana kebiasaannya menyelipkan dark jokes, cerpen ini pun diakhiri dengan detail kecil nan tajam dari preambul kisah, yang mampu membuat pembaca terbahak-bahak.
Cerpen Siti Semak-Semak menawarkan warna lain di antara sekian banyak judul. Ada unsur magis dan horor di sana, meskipun eksekusinya tetap mengandung kelucuan-kelucuan pahit.
Baca Juga: Di Depan Presiden, Pedagang Pasar dan Pejaga Minimarket Laporkan Kelangkaan dan Harga Minyak Goreng
Secara teknis, Gunawan menulis dengan napas seorang novelis. Dalam arti, segala detail yang tertulis memang diperlukan untuk menunjang cerita. Tulisannya mengalir selayaknya narasi novel, tetapi tidak sampai membuat bosan. Uniknya, ia memungkas kisah-kisah itu dengan napas seorang cerpenis. Dengan kata lain, ia sukses membelokkan imajinasi pembaca, alias nge-twist kebacut.
Ide ceritanya dapat berasal dari mana saja, termasuk hal-hal sederhana yang mungkin tidak terpikirkan oleh pembaca. Misalnya saja dalam cerpen Poni Kirik. Pencarian sejarah penamaan ‘poni kirik’ ini membuat pembaca diajak melanglang buana menyertai pencarian si tokoh aku. Alhasil, cerpennya jadi lebih panjang dari rata-rata, meskipun tetap asyik untuk disimak. Dan, di cerpen ini, Gunawan menampilkan kameo seorang pegiat Bilik Literasi yang akrab disapa Kabut (Bandung Mawardi).
Baca Juga: Inilah Pendeta Saifudin Ibrahim yang Minta Menag Hapus 300 Ayat Al-Qur'an, Siapakah Sebenarnya?
Gunawan juga bereksperimen dengan para tokoh ciptaan Shakespeare, menjadikan mereka karakter-karakter dengan cerita baru yang mungkin saja membuat pembaca mengerutkan dahi dan terbahak-bahak setelahnya. Bahkan, ia juga memasukkan Shakespeare sebagai salah satu tokoh dalam cerpen berjudul Presisi di Kamar Ganti.
Alasan lain yang membuat buku ini enak disantap adalah pemakaian sudut pandang orang pertama pada sebagian besar cerita. Ditambah dengan gaya tutur yang serius namun berkesan santai, semua seolah-olah diceritakan langsung oleh penulisnya di hadapan kita. Persis seperti seseorang bercerita di depan temannya.
Satu hal terakhir, ini soal konten dewasa yang amat kental terasa. Saya nyaris yakin, sebagian besar orang masih masih menganggap ditambahkannya bumbu seks dalam sebuah cerita memiliki tujuan merangsang berahi pembacanya. Jika berahi itu dalam konteks keinginan menggebu-gebu untuk membaca lebih banyak lagi, tentu saja tidak masalah, malah bagus. Sayangnya, ini betulan berahi yang dimaksud. Libido. Keinginan untuk sanggama demi menuntaskan hasrat.
Konten dewasa tidak melulu dimasukkan demi meningkatkan frekuensi ngeloco (masturbasi). Di sini, seks adalah kewajaran. Dalam artian, seks memang erat dengan manusia. Apa pun tujuannya, seks akan selalu ada. Yang Gunawan lakukan dengan konten itu adalah menciptakan anggapan bahwa tidak apa-apa membicarakan seks di ruang publik. Mungkin, sama seperti Djenar dan Ayu Utami yang dengan santai menyuguhkan bumbu seks melalui karya-karyanya.
Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, konten dewasa juga bisa dibentuk menjadi guyonan-guyonan segar―meskipun dalam buku ini, guyonan-guyonan itu sebagian besar terkesan gelap. Menertawakan kegetiran adalah bagian dari penerimaan dukacita. Tujuannya agar sukacita sudi kembali sehingga roda kehidupan bisa terus berputar. Sekian.**