“Karena akan membebani kelompok mayarakat menengah ke bawah, yakni harus mengeluarkan uang banyak lagi untuk membeli kompor dan mobil listrik. Belum lagi nanti tarif listriknya jauh lebih mahal daripada jika masyarakat tetap menggunakan kompor LPG atau gas jaringan kota," ulas Yusri.
Kebijakan untuk bisa menyerap kelebihan pasokan listrik PLN itu menurut Yusri membuktikan bahwa program pembangkit 35.000 MW adalah program ambisius. Tidak terencana dengan baik dan telah membebani cash flow PLN.
Baca Juga: Tak Ada Koordinasi dalam Penyediaan Satelit di Kemenkominfo, Uang Negara Boros Sebesar Rp98,2 M
"Karena pembangkit IPP sistem take or pay, digunakan atau tidak, PLN wajib membayar pada take swasta itu. Ini salah satu yang bisa berpotensi membuat PLN bisa bangkrut," ungkap Yusri.
Lebih lanjut Yusri mengatakan, meskipun kelebihan pasokan listrik itu berlindung pada alasan akibat pandemi Covid 19, kenyataan saat ini, hanya dengan 30% pembangkit yang terbangun dan beroperasi dari target awalnya, sudah terjadi kelebihan pasokan, yakni baru sekitar 10.500 MW yang beroperasi.
"Bagaimana jika semuanya terbangun? Belum lagi bahwa Pertamina telah terjebak membuat kontrak impor LNG jangka panjang, yang konon kabarnya kontrak itu dibuat akibat Kementerian ESDM pada tahun 2011 katanya keliru membuat neraca gas yang pada tahun 2024 kita sudah defisit gas, sehingga potensi kelebihan pasokan LNG ini juga harus dipikirkan solusinya, yaitu disuply ke pembangkit PLN, industri dan jaringan gas kota," ungkap Yusri.
Baca Juga: Anda Gandrung Drakor? Orang Korea Itu Jatuh Cinta pada Negeriku!
Menurut Yusri, jika Presiden komit dengan transisi ke energi terbarukan dan hijau, tentu konsekwensinya harus segera memerintahkan PLN untuk membatalkan banyak Power Purchace Agreement (PPA), khususnya untuk PLTU yang bersumber energi primer batubara.
"Alihkan semua kebijakan ke energi terbarukan, berikan insentif khusus dan permudahkan semua hambatan birokrasi bagi investor yang serius, kami yakin kita cepat memenuhi target energi terbarukan," ungkap Yusri.
Karena, kata Yusri, Indonesia adalah negara yang paling lengkap memiliki potensi energi baru terbarukan dengan jumlah yang melimpah. Ada banyak potensi panasbumi, matahari, air, angin, gelombang laut dan sawit.
"Ketika saat ini Presiden Jokowi mengeluh mengapa kilang belum terbangun semua, itu pun tak bisa semua kesalahan ditimpakan pada Direksi Pertamina. Karena banyak faktor yang harus diperhitungkan dengan cermat dan hati-hati untuk membangun proyek strategis bernilai fantastis itu," ungkap Yusri.
Baca Juga: Depresi Diteror Pinjol, Pemuda Ini Nekad Jatuhkan Diri dari Lantai 4 Sebuah Ruko!
Yusri membeberkan, faktor itu antara lain keenomian proyek yang menjadi pertimbangan utama. Kemudian faktor sumber pendanaan berbunga murah atau strategic patner, SDM Pertamina, dan kemudian harus membaca trend dunia dalam kebijakan energinya.
"Jika saat ini arahnya ke energi baru terbarukan, mkemudian kita baru mulai membangun kilang, maka kasus 35.000 MW akan menular ke proyek kilang ini, artinya Pertamina bisa bernasib sama dengan PLN," ungkap Yusri.
Menurut Yusri, harapan Presiden bahwa jika kilang terbangun akan mengurangi defisit neraca transaksi berjalan yang selama ini mendera Indonesia, hal itu tidak akan selesai juga jika kilang terbangun.
Artikel Terkait
Bupati dan Wakil Bupati Musi Rawas Ikuti Arahan Presiden Jokowi Secara Virtual
Tiga Arahan Dari Presiden Jokowi Untuk BPKP dan APIP
Menpora: DBON Adalah Jawaban Atas Arahan Presiden Jokowi untuk Pembinaan Prestasi Olahraga
Terkait Poster di UNS, Stafsus Mensesneg Sebut Presiden Jokowi Tak Pernah Tersinggung Soal Kritikan
Presiden Jokowi Bermalam Di Papua, Besok Malam Membuka PON XX. Pembukaan PON Disiarkan Langsung TV
Perintah Presiden Jokowi, Harga PCR diturunkan menjadi Rp300 ribu
Pesan Presiden Jokowi di Hari Pahlawan 2021, Bangsa ini semakin Kokoh Bagaikan Karang
Geram! Jokowi Klaim Pernah Tegur Keras Dirut Pertamina