Sebab, persoalan mendasar Indonesia adalah lifting migas yang rendah, sehingga jika semua kilang semua terbangun maka impor minyak mentah dan kondensat akan semakin besar.
"Hanya kelebihannya jika kilang terbangun, maka impor bahan BBM dan bahan petrokimia dan aromatik saja yang menurun, tetapi impor minyak mentah dan kondensat akan semakin besar dari sekarang," ulas Yusri.
Baca Juga: Biaya Sewa Dashboard BTS USO Blankspot Kemenkominfo Sebesar Rp800 Juta Dinilai Tak Wajar?
Sementara itu, mengenai adanya pernyataan Presiden yang telah memarahi Dirut Pertamina soal kilang ini, menurut Yusri hal itu tak elok dibuka ke ranah publik. Belum tentu juga Dirut Pertamina salah.
"Karena yang memilih dewan direksi dan dewan komisaris Pertamina adalah Presiden sendiri atas usulan Menteri BUMN. Sehingga tak elok jika acara tersebut disebarkan menjadi pengetahuan umum, karena Eric Tohir sebagai Menteri BUMN selalu mengatakan di media bahwa direksi yang dipilih memang KPI terbaik. Jika Pak Presiden agak kecewa kinerja direksinya, sebaiknya minta pertanggung jawaban ke Menteri BUMN, bukan dibicarakan di ranah publik," kata Yusri.
Karena, lanjut Yusri, selain itu sudah ada Ahok sebagai Komisaris Utama Pertamina yang sangat piawai dan konsisten mengawal proses bisnis di Pertamina agar efisien.
"Sebaiknya Menteri BUMN harus mendengar apa saran dan pertimbangan Komisaris Utama setiap ada pergantian direksi, karena hal ini sudah pernah dikeluhkan Ahok di media," ungkap Yusri.
Baca Juga: Geram! Jokowi Klaim Pernah Tegur Keras Dirut Pertamina
Perlu diketahui, kata Yusri, nilai investasi untuk kilang baru atau Grass Root Refinery (GRR) bisa mencapai USD 12 miliar atau Rp 168 triliun, dan anggaran untuk upgrading kilang atau Refinery Develoment Master Plan (RDMP) berkisar USD 5 miliar, dan itu nilai cukup besar dan ada persoalan keekonomian proyek yang menjadi kendala.
"Sehingga karena resiko bisnisnya sangat tinggi maka banyak investor enggan mau berinvestasi, apalagi banyak lembaga keuangan dunia sudah tidak mau lagi memberikan pinjaman untuk infrastruktur energi fosil," ungkap Yusri.
Contohnya, lanjut Yusri, proyek Revamping Kilang TPPI bernilai USD 3,8 miliar. Pertamina saat ini hanya mampu sebanyak lima tangki saja, sementara untuk membangun unit proses seperti Crude Destillation Unit (CDU) dan flatformingnya Pertamina sudah kehabisan napas akibat penugasan pemerintah untuk menyalurkan BBM Solar subsidi tetap dan Premium sebagai BBM penugasan dan LPG 3 kg.
"Begitu juga dengan proyek Olefin TPPI, saat ini masih tahap Dual Feed Competition, paling cepat setahun lagi baru ditetapkan teknologi lisensornya dan kemudian memilih kontraktor EPC. Jika Pertamina punya sumber pendanaan yang pasti, kilang olefin itu duperkiraan baru bisa beroperasi paling cepat di sekitar tahun 2027," ungkap Yusri.
Kemudian, ulas Yusri, proyek GGR Tuban yang bernilai Rp 186 Triliun saat ini masih melakukan Front End Engineering Design (FEED).
"Sempat juga disinggung Presiden bahwa Rosneft sudah mendesak agar cepat bisa jalan juga diragukan kebenarannya, karena Pertamina sudah selesai membebaskan lahan sesuai kebutuhan proyek agar Rosneft mau segera menurunkan dana, ternyata tersendat juga realisasinya. Konon kabarnya Rosneft juga punya persoalan tersendiri soal pembiayaan ini," beber Yusri.
Artikel Terkait
Bupati dan Wakil Bupati Musi Rawas Ikuti Arahan Presiden Jokowi Secara Virtual
Tiga Arahan Dari Presiden Jokowi Untuk BPKP dan APIP
Menpora: DBON Adalah Jawaban Atas Arahan Presiden Jokowi untuk Pembinaan Prestasi Olahraga
Terkait Poster di UNS, Stafsus Mensesneg Sebut Presiden Jokowi Tak Pernah Tersinggung Soal Kritikan
Presiden Jokowi Bermalam Di Papua, Besok Malam Membuka PON XX. Pembukaan PON Disiarkan Langsung TV
Perintah Presiden Jokowi, Harga PCR diturunkan menjadi Rp300 ribu
Pesan Presiden Jokowi di Hari Pahlawan 2021, Bangsa ini semakin Kokoh Bagaikan Karang
Geram! Jokowi Klaim Pernah Tegur Keras Dirut Pertamina