Jakarta,Klikanggaran.com - Memasuki bulan ke tujuh bencana nasional non-alam berupa pandemi corona virus desease (Covid-19), jumlah masyarakat di Indonesia yang terpapar tak kunjung menurun. Prediksi bahwa kurva penyebaran covid-19 akan mencapai puncak pada Agustus 2020 dan melandai pada bulan-bulan setelahnya nampaknya meleset. Yang terjadi justru sebaliknya, covid-19 telah menyebar ke seluruh provinsi di Indonesia dengan rata-rata lebih dari 3.000 orang tertular setiap harinya.
Tentu ini memprihatinkan. Pemerintah seakan ‘mati kutu’ dalam melakukan pencegahan dan penanganan penyebaran Covid-19. Padahal, berbagai kebijakan terkait kelembagaan maupun anggaran telah dikeluarkan, termasuk kebijakan anggaran bagi daerah. Adakah yang salah?
Kebijakan anggaran pemerintah Indonesia di masa pandemi Covid-19 mengalami perubahan sangat dinamis. Bila di 2018 pemerintah sangat bangga dengan APBN tanpa perubahan, yang berarti perencanaan anggarannya mendekati kenyataan. Tidak demikian dengan APBN 2020. Dalam rentang tiga bulan, APBN 2020 diubah dua kali.
Perubahan nampak pada postur Pendapatan, Belanja, dan Pembiayaan Negara. Terjadi pelebaran defisit anggaran yang sangat signifikan, dari minus Rp307,22 triliun (1,76 persen) menjadi minus Rp1.039,21 triliun (6,34 persen) terhadap PDB. Konsekuensinya, pemerintah wajib memikirkan upaya menutup defisit anggaran, termasuk pembiayaan pemulihan ekonomi nasional (PEN) yang mengalami pembengkakan hingga 58 persen dari rencana semula.
Pemerintah sebenarnya punya cukup pilihan untuk menutup defisit anggaran tersebut. Dan setiap pilihan pasti punya risiko. Risiko paling ringan dan tidak terlalu membebani fiskal dalam jangka panjang wajib dipilih. Misalnya melakukan tracking terhadap potensi pendapatan yang masih bisa digali, baik dari pajak maupun penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Atau melalui penyesuaian besaran belanja wajib (mandatory spending) pendidikan dan kesehatan yang selama ini kurang efektif, penggunaan Sisa Lebih Anggaran tahun lalu, pengurangan penyertaan modal negara (PMN) pada BUMN, dan efisiensi belanja Kementerian/Lembaga (K/L).
Pada perubahan pertama APBN 2020, pemerintah sebenarnya mampu melakukan efisiensi belanja K/L hingga Rp73,3 triliun, namun ini tergolong kecil dibanding total kebutuhan anggaran penanganan Covid-19 dan PEN yang mencapai Rp695,2 triliun. Alternatif lain, menerbitkan Surat Utang Negara (SUN). Meski mempunyai risiko tinggi dalam jangka panjang, kebijakan ini justru sering menjadi pilihan utama pemerintah. Pemerintah seakan ingin mencari jalan paling mudah dan cepat.
Pertanyaannya kemudian adalah seperti apa politik anggaran yang terjadi selama pandemi ini? Mengapa terjadi ketegangan antara pusat dan daerah dalam realokasi dan refocusing anggaran penanganan Covid-19? Apa langkah-langkah ke depan untuk mengantisipasi masalah kesehatan yang semakin memburuk, kerentanan sosial, dan keterpurukan ekonomi?
Ketegangan Pusat vs Daerah
Dalam kondisi normal, perubahan APBN disusun melalui mekanisme perubahan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) yang disusun oleh pemerintah dan diserahkan kepada DPR untuk dibahas. Pada saat pandemi ini, proses penetapan perubahan APBN 2020 hampir tanpa campur tangan DPR yang notabene mempunyai fungsi budgeting.
DPR memang dilibatkan saat mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19, namun hanya sebatas pengesahan, hampir tanpa pembahasan yang berarti. Di sinilah terlihat kelemahan ‘power’ DPR di hadapan pemerintah.
Penetapan perubahan APBN 2020 juga alpa terhadap keterlibatan organisasi masyarakat sipil (OMS). Pemerintah sepertinya enggan menyelenggarakan konsultasi publik (public consultation) untuk mencari masukan terhadap pencegahan dan penanganan pandemi Covid-19 dan dampak yang ditimbulkannya. Kondisi kemendesakan selalu dijadikan alasan pembenaran pemerintah.
Pada perubahan pertama APBN 2020 mungkin masih bisa ditoleransi mengingat pemerintah dituntut mengambilan kebijakan anggaran yang cepat dan terukur di masa awal pandemi. Namun hal tersebut seharusnya tidak berlaku saat perubahan kedua.
Akibatnya, banyak sekali kebijakan anggaran yang justru kontra produktif terhadap upaya pencegahan dan penanganan dampak Covid-19, misalnya karut marut implementasi kebijakan Jaring Pengaman Sosial (JPS) karena persoalan data penerima manfaat yang out of date, kebijakan Kartu Prakerja yang berpotensi konflik kepentingan dan korupsi, kebijakan PEN yang menafikan petani dan nelayan, dan lain sebagainya.