Opportunity Cost dan New Normal

photo author
- Senin, 22 Juni 2020 | 19:18 WIB
images (12)
images (12)

Pertimbangan pemerintah mengajak masyarakat hidup dalam "normal baru" dapat juga kita telusuri melalui konsep opportunity cost yang sangat populer di dalam teori ekonomi. Istilah tersebut pertama kali digunakan oleh David L. Green pada tahun 1894 dan dikembangkan oleh ekonom Austria Friedrich von Wieser (1911). 


Dalam pandangan mereka, opportunity cost disebut juga biaya alternatif yang dihadapi individu dalam mengalokasikan sumber daya yang terbatas, sementara keinginan atau kebutuhan individu tidak terbatas. Apabila sumber daya terbatas, maka untuk memenuhi keinginan yang tidak terbatas, individu harus menggunakan berbagai alternatif dan di sinilah individu perlu memilih. 


Dalam pemikiran Green dan Wieser, opportunity cost berarti sesuatu yang harus dikorbankan untuk mendapatkan manfaat terbaik dari sesuatu lainnya atau berupa nilai dari alternatif terbaik yang menjadi pilihan individu dalam menggunakan sumber daya yang terbatas. Ilustrasi sederhana, saat kita memutuskan menggunakan sumber daya pada aktivitas ekonomi A, maka kita tidak dapat menggunakan sumber daya tersebut untuk mendapatkan manfaat ekonomi dari aktivitas B ataupun aktivitas ekonomi lain pada waktu yang hampir bersamaan. 


Tetapi ketika kita memutuskan alokasi sumber daya pada aktivitas ekonomi A, seharusnya pertimbangan kita sudah sangat matang, bahwa aktivitas A itu akan memberikan manfaat terbaik. Opportunity cost selalu diikuti kerelaan kita untuk kehilangan kesempatan mendapatkan manfaat dari berbagai pilihan (what you have to give up to get something). Demikian pula bagi pemerintah, ketika memutuskan untuk mengajak masyarakat bersiap memasuki hidup dalam "normal baru", ada manfaat lain yang akan dikorbankan dari pilihan kebijakan tersebut. 


Situasi yang tidak sama namun relatif mirip dengan pandemi Covid-19 adalah pandemi flu di tahun 1918 atau dikenal the Spanish Flu yang menelan korban hingga 50 juta jiwa secara global. Sejarah mencatat gelombang kedua pandemi yang terjadi lebih dari 100 tahun lalu tersebut lebih mematikan dibanding gelombang pertama. 


Wabah Spanish flu


Sebuah hasil studi yang dilakukan oleh Correia, Luck dan Verner (2020) di 43 kota di Amerika Serikat saat wabah Spanish Flu, menemukan bahwa kota yang melakukan pembatasan kegiatan dan interaksi fisik manusia yang lebih lama mampu melakukan pemulihan ekonomi yang lebih cepat. Kota-kota yang pulih lebih cepat tersebut setidaknya melakukan physical distancing sekitar 120 hari, dengan rata-rata selama 88 hari. 


Sebaliknya, kota-kota yang melakukan physical distancing kurang dari 60 hari mengalami pemulihan ekonomi yang lebih lama. Studi ini juga menemukan bahwa membuka kembali aktivitas ekonomi dan melakukan pelonggaran interaksi fisik manusia lebih awal akan berdampak buruk bagi perekonomian. 


Berkaca dari temuan Correia, Luck dan Verner (2020), sebenarnya kita berharap bahwa pembatasan interaksi fisik dan sosial manusia dalam bentuk PSBB dapat diperpanjang, paling tidak lebih dari 60 hari. Provinsi DKI Jakarta yang memiliki kasus positif Covid-19 terbanyak pun belum mengalami penurunan secara signifikan hingga minggu keempat Mei 2020. 


Namun ketika pemerintah memutuskan untuk mengajak masyarakat bersiap memasuki pola hidup baru, seharusnya pemerintah telah memperhitungkan bahwa opportunity cost untuk melakukan pola kehidupan baru akan memberi manfaat tertinggi relatif terhadap berbagai alternatif kebijakan lain yang dapat dipilih pemerintah. 


Mungkinkah hal tersebut dicapai? Dalam perspektif ekonomi, opportunity cost akan menghasilkan manfaat yang optimal apabila ada kerja sama yang baik di antara pihak-pihak terkait, manfaat terbaik bersifat relying on others. 


Jadi, mari kita membantu pemerintah memastikan opportunity cost yang minimal dari keputusan untuk memasuki pola hidup baru. Memulai tata kehidupan yang baru harus menjadi bentuk tindakan dan tanggung jawab bersama (collective action and responsibility). 


Ini bukan tanggung jawab pemerintah saja, tapi tanggung jawab kita semua, dan keberhasilan collective action ditentukan oleh rasa saling percaya (mutual trust). Masyarakat harus memiliki trust kepada pemerintah bahwa imbauan bersiap masuk ke situasi ‘new normal’ akan memberikan manfaat yang optimal bagi masyarakat. 


Menjaga trust ini dapat kita lakukan dengan mengikuti protokol kesehatan untuk skenario hidup dalam ‘new normal’. Di sisi lain, pemerintah harus mampu menjaga rasa percaya dari publik (public trust) dengan menunjukkan konsistensi informasi dan kebijakan dalam mengangani Covid-19. 


Jika ini dapat dilakukan bersama, bukan tidak mungkin, inilah pilihan kebijakan yang memberikan opportunity cost terbaik dalam situasi pandemi Covid-19. Untuk itu, kita perlu memastikan kontribusi dan disiplin diri untuk mencapai opportunity cost yang paling minimal, jika kita harus memulai ‘new normal’ di masa pandemi Covid-19 ini.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: M.J. Putra

Tags

Rekomendasi

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB
X