Hingga pada akhirnya, 2019. Ketegangan semakin meningkat dan merebak global pandemi. Jika VOC dan kawan-kawannya, di tahun 1550-an membutuhkan 200 tahun untuk runtuh sistemnya, akibat wabah endemik lokal berupa Pes. Maka, di tahun 2019 ini, bisa hanya dalam hitungan bulan, investasi global akan wipe out karena covid 19.
Jadi kedalaman situasi ekonomi kali ini, memang belum bisa terpetakan. Karena banyak faktor. Terutama situasi entitas bisnis saat ini, di mana jaringannya semakin komplek dan tidak ada yang murni berdiri sendiri yang sering disebut dengan global value chain. Padahal, itu peluang ya bagi Asia Pasifik, termasuk Indonesia.
Kenapa? Lihat gambar 1-3. Entitas bisnis, para CEO, memilih kata bertahan dan mengendalikan ketidak pastian. Memang, untuk kali pertama, sejak 2008, yang menyatakan bisnisnya akan suram naik menjadi 53% secara global. Penurunan bisnis banyak terjadi di Amerika Utara (AS & Canada) dan Eropa Barat (Uni Eropa). Karena memang terjadi pergeseran tumbuh ke Asia Pasifik sejak medio 2016 bagi kelompok bisnis.
Artinya, para CEO ini masih hold dan membaca situasi. Duitnya disimpen dan ditahan dulu. Hedge Fund Manager macam Warren Buffet yang mengambil untung besar di Pasar Asia dengan memanfaatkan momentum yang diciptakan George Soros pada tahun 1997, memilih menyimpan cash hingga saat ini. Karena sistem keuangan negara-negara yang rapuh.
Naaah, selanjutnya gambar 4-7. Itu data sistem keuangan kita. Lihat ketrampilan pemangku kebijakan fiskal kita. Keren ya? Adaptif dan sudah realistis. Terutama saat ini, dengan merebaknya gelombang II Covid di Beijing. Kita memilih melakukan skenario sangat berat untuk sistem keuangan kita. Jelas sangat tidak akan mudah bagi kita.
China sudah melupakan target pertumbuhan untuk melindungi dan memberi rasa aman bagi para pengampu kebijakan fiskalnya. Cukai menjadi andalan mereka, pajak diberikan insentif sedemikian rupa untuk merebut hati entitas bisnis, mau memilih wilayahnya.
Kemenkeu pun sudah melakukan langkah luar biasa dengan kondisi apa yang ada saat ini. Dalam perkembangan APBN kita di tanggal 16 Juni 2020 pun Cukai yang masih positif memberikan pemasukan bagi negara kita. Inilah titik tumbuh kita. Yang perlu dipahami ekosistem ekonomi dan ekosistem komoditas yang harus terintegrasi dalam National Logistic Ecosystem kita. Negara kita mau tak? Atau tetap milih ting printhil gencet2an sendiri?
Makin gak menarik lagi buat para CEO global yang sedang putar haluan menjadi bertahan dan konservatif dari yang sebelumnya ekspansif dan angelic ke start up. Dan memilih lokasi relokasi dengan sangat hati-hati. Manajemen risiko ditingkatkan. Karena mereka semua tahu, revenue belum akan terjadi dalam waktu dekat. Cost Center semua. Nah, kalau sudah gitu. Kelihatan ya...persoalan utamanya bukan di luar, tapi di internal kita sendiri. Bagaimana kelompok bisnis kita, rerata levelnya masih sibuk ngejar proyek pemerintah, utamanya proyek-proyek DAK misalnya.
Karena berdasar posisi geografis kita, Indonesia adalah wild card untuk investor global, apalagi Indonesia belum sepenuhnya berhasil terintegrasi dalam global value chain. Saatnya ini jadi kekuatan untuk fokus pada Industri pengolahan dan jasa logistik saja untuk jangka pendek ini. Bisa dilakukan sebagai proyek padat karya pemerintah. Jelas lebih tepat sasaran dibanding konsep Kartu Pra Kerja itu. Dan bagi teman-teman yang memiliki ekstra dana saat ini, bisa ya pertimbangkan investasi di ORI daripada harus lewat pasar saham. Macam awal investor awal proyek Kerajaan Belanda di tahun 1550 untuk pelayaran ke dunia baru. Kita sedang menuju DUNIA BARU juga lho. How cool is that? Semangat ya, nggetih sedelo (sakit sebentar).
Artikel opini ini ditulis oleh Arum Kusumaningtyas, pemerhati masalah internasional dan kebijakan publik.