Pertengahan 1998, kumpul aktifis Pemuda Islam yang tergabung dalam FORUM Generasi Muda Islam (GEMUIS) di Kantor Kementerian Agama Jl. Thamrin.
Diskusi menyimpulkan. "Islam tidak bisa berkuasa karena GUSDUR lebih senang bergabung dengan minoritas ketimbang menyatu dengan Islam." "Gusdur di sana dengan pangkat Jenderal, susah Gusdur bergabung di sini jika hanya disematkan pangkat kopral" sergah saya.
"Hadirkan Gusdur di sini dan kita jadikan beliau Jenderal", kata Syafrudin Anhar dari Pemuda Muhammadiyah.
"Caranya gimana?" tanya Muchlis dari Matlaul Anwar.
"Pertemukan Gusdur dengan Buya Syafii: kata Syahrirsyah dari IMM. "Ok, siapa yang mengatur pertemuannya?" kata saya. Serempak forum menyebut, "Bang Andi Jamaro saja."
Tiba tiba Buya Syafii datang, karena ingin mengikuti pertemuan atas undangan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Saya langsung melaksanakan tugas.
Saya cegat beliau di depan pitu masuk. "Assalamualkum Buya." Salam saya dengan suara lantang.
"Waalakumussalam, kamu Ansor kan?"
"Iya Buya." Jawabku, "Ada hal penting ini Buya."
"Apa itu apa itu?" tanya Buya. Setengah berbisik saya menyampakan bahwa GUSDUR ingin sekali ketemu Buya.
Agak terperangah beliau sambil mengatakan "Negeri ini sangat genting, kalau sudah Gusdur ingin ketemu saya, atur yaa atur yaa". Perintah Buya "Insyaallah Buya." jawabku dengan tegas.
Saat Buya masuk ruang pertemuan, saya langsung menelpon GUSDUR melalui Asprinya Aris Junaidi.
Begitu nyambung dengan GUSDUR, saya langsung sampaikan. "Gus, baru saja saya ketemu Pak Syafii Maarif, beliau pingin sekali ketemu Gusdur". Kata saya.
"Bagus itu Ndi, atur sepulang saya dari Bali" kata Gusdur.