Keenam, pemegang saham Kideco Jaya Agung (47.500 hektar) adalah Indika Energy (91%) dan Samtan Limited, Korea Selatan (9%). Indika Energy sendiri dimiliki oleh Arsjad Rasjid, Wishnu Wardhana, dan Agus Lasmono. Pemegang saham Indika Energy terdiri atas Indika Inti Investindo (37,79%), Teladan Resources (30,65%), dan Publik (31,56%). Pemilik mayoritas Indika Inti Investindo sebagai salah satu pemegang saham pengendali Indika Energy adalah Agus Lasmono yang merupakan pendiri Indika Group.
Ketujuh, pemegang saham atau pemilik Berau Coal (luas lahan 108.009 hektar!) adalah Grup Sinar Mas melalui Asia Coal Energy Ventures Limited (ACE). ACE menyatakan telah menjadi pengendali di Berau Coal secara tidak langsung karena memiliki 94,19% saham di Asia Resources Minerals Plc (ARM) yang semula menjadi pemilik Berau (23/7/2015).
ACE yang disokong dana oleh Grup Sinarmas itu menguasai 84,7% saham di Berau Coal melalui Vallar Investment UK Limited. ACE yang merupakan perusahaan terikat hukum Pulau Virgin, menyelesaikan akuisisi ARM pada 15 Juli 2015. Berau Coal yang sebelumnya perusahaan terbuka, pada 16 November 2017 resmi keluar dari Bursa Efek Indonesia (BEI).
Total produksi ke tujuh kontraktor PKP2B di atas diperkirakan sekitar 210 juta ton/tahun. Jika diasumsikan laba kontraktor sekitar US$10 per ton, maka keuntungan yang dapat diraih setiap tahun adalah sekitar US$ 2,1 miliar atau sekitar Rp 30 triliun. Dengan keuntungan yang demikian besar, jelas mereka dan “dapat berbuat banyak” untuk memperoleh perpanjangan kontrak dalam bentuk izin, baik melalui perubahan UU Minerba No.4/2009 dan RUU Omnibus Law Cipta Kerja.
Kebijakan Kontra Rakyat
Uraian di atas menunjukkan siapa sebenarnya pemegang saham kontraktor PKP2B yang ternyata umumnya adalah konglomerat-konglomerat kaya dan negara/perusahaan asing. Para pemegang saham tersebut sebagian masuk dalam daftar 150 orang terkaya di Indonesia. Sebagian dari mereka menjadi kaya dan terkaya karena menguasai kekayaan tambang batubara milik negara yang menurut konstitusi seharusnya dikelola BUMN.
KPK meminta pembatalan IUPK Tanito Harum pada 2019 karena melihat secara gamblang pelanggaran Menteri ESDM Ignatius Jonan terhadap UU Minerba No.4/2009. Permintaan KPK tersebut telah dipenuhi Presiden Jokowi. Dengan demikian, mestinya Presiden Jokowi bersikap sama terhadap kontraktor PKP2B lain, yaitu konsisten menjalan perintah UU Minerba No.4/2009 yang memang sejalan dengan amanat konstitusi. Sehingga hak perpanjangan kepada 6 kontraktor PKP2B lain tidak boleh diberikan.
Ternyata langkah konstitusional di atas tidak dilanjutkan pemerintah. Berkomplot dengan DPR, Pemerintahan Jokowi malah merevisi UU Minerba No.4/2009 secara konspiratif guna memenuhi hasrat anggota oligarki. Dengan UU Minerba baru yang disahkan 12 Mei 2020, para pengusaha tambang memperoleh jaminan perpanjangan operasi tambang. Presiden Jokowi dan DPR yang baru saja dipilih rakyat tahun 2019 yang lalu, lebih memilih bekerja dan mengabdi pada kepentingan segelintir konglomerat dan negara/pengusaha asing! Artinya, pemerintah dan DPR dapat dikatakan telah menjadi lembaga-lembaga yang sudah tidak berguna bagi rakyat!
Pemegang saham sejumlah perusahaan PKP2B di atas terlihat berasal dari China, India, Eropa dan Australia. Jika ditilik lebih lanjut, meskipun sebagian besar perusahaan tersebut terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI), bukan berarti pemegang saham saham publik pada perusahaan-perusahaan tersebut 100% orang Indonesia. Ternyata, saham-saham perusahaan yang terdaftar di BEI, sekitar 50% dikuasai oleh investor asing. Dengan begitu, lebih dari 50% saham perusahaan tambang eks PKP2B adalah negara dan investor asing.
Dengan penguasaan saham lebih dari 50%, berarti negara dan investor asinglah yang mendapat keuntungan terbesar dari konspirasi revisi UU Minerba oleh Pemerintah-DPR-Pengusaha Tambang. Hal ini jelas sangat meugikan negara dan rakyat dan dapat dianggap pelanggaran hukum yang serius dan pengkhianatan terhadap konstitusi, serta mengusik rasa keadilan!
Padahal, UU Minerba No.4/2009 dan konstitusi telah mengatur bahwa aset milik negara, milik rakyat tersebut harus dikelola BUMN bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Karena diduga berkhianat terhadap konstitusi, sudah saatnya rakyat meminta MPR memeroses pemakzulan Presiden Jokowi. Jika MPR bergeming, rakyat perlu mengambil jalannya sendiri, sambil tetap meminta pertolongan dari Tuhan Yang Maha Kuasa.[]
Jakarta, 31 Mei 2020, ditulis oleh Marwan Batubara, IRESS