"Setiap Orang adalah Imam", Fenomena Imam Dadakan dan Umat Otentik

photo author
- Rabu, 27 Mei 2020 | 06:06 WIB
IMG_20200527_055953
IMG_20200527_055953


KLIKANGGARAN-- Di bulan Ramadan dan Idul Fitri kali ini, di masa pandemi Covid-19, banyak orang menjadi imam shalat tarawih dan shalat Idul Fitri dikarenakan himbauan pemerintah, otoritas ulama dan sejumlah ormas Islam untuk mencegah penularan virus Corona.


Walaupun demikian masih banyak masjid dan sekelompok orang yang menyelenggarakan Shalat Idul Fitri berjamaah secara massal dengan berbagai alasan. Walaupun takmir masjid mengklaim sudah melaksanakan protokol kesehatan secara ketat seperti menyediakan hand sanitizer, menyemprot disinfektan, mewajibkan masker dan lain-lain tetap saja potensi penularan Covid-19 masih cukup tinggi dibandingkan dengan ketika kita melaksanakan shalat Ied di rumah hanya bersama keluarga inti.


Wabah Covid-19 telah meluluhlantakkan tidak hanya fasilitas kesehatan yang ditandai dengan gugurnya ratusan tenaga medis tapi juga sendi perekonomian dan juga bangunan keagamaan yang sudah mengakar berabad-abad lamanya.


Umat beragama khususnya umat Islam yang kental dengan komunalisme, guyub dan berjamaah merupakan salah satu komunitas yang paling terpukul. Masjid-masjid dikosongkan, pengajian hanya bisa secara virtual dan bahkan pemakaman juga hanya bisa dilakukan secara minimalis apalagi bila yang dimakamkan adalah korban Covid-19.


Hampir semua otoritas ulama, ormas Islam, para penceramah dan sebagainya telah menyerukan agar shalat 5 waktu, shalat Jumat, shalat tarawih dan shalat Idul Fitri dilaksanakan di rumah, tapi masih banyak umat yang ngotot melaksanakannya. Mereka berdalih menunjuk pada ketidaktegasan pemerintah yang membolehkan pasar dan bandara tetap buka dan mempertanyakan mengapa hanya masjid yang harus ditutup.


Ribuan kitab kuning yang dijadikan referensi otoritas ulama dan ormas Islam untuk menyerukan pelaksanaan shalat di rumah pun runtuh oleh analogi dan logika dangkal sebagian umat yang merasa "lebih ulama daripada ulama".


Kalau begitu apa arti agama yang dipelajari mendalam oleh para alim-ulama bila banyak umat hanya mengikuti kedangkalan pikirannya dan keegoisan hawa nafsunya? Apakah umat hanya mengikuti ulama bila fatwa ulama itu dirasa cocok dengan hawa nafsunya dan kemudian mengabaikan ulama bila fatwa ulama tidak cocok dengan kedangkalan pikirannya.


Saat ini kita menghadapi dua musuh besar, pandemi dan kebodohan. Pandemi bisa diatasi dengan kebijakan tegas pemerintah dalam melaksanakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Namun kebodohan tidak bisa serta merta dihilangkan oleh fatwa ulama. Menghilangkan kebodohan butuh proses bertahun-tahun dengan sistematika belajar yang tertib dan disiplin.


Tapi sebagai umat Islam, khususnya warga NU, kita harus selalu bisa mengambil hikmah dari peristiwa segetir apapun. Mungkin hikmah terbesar dari wabah Covid-19 adalah ketika ada banyak ayah-ayah muda yang menjadi imam dadakan bagi keluarga intinya yang puncaknya menjadi imam shalat Idul Fitri. Salah satu ritual paling sakral dalam tradisi Islam dimana jelas sekali perbedaan "ulama" dan "umat".


Imam dan khatib shalat Idul Fitri umumnya adalah ulama sepuh yang kealiman dan kedalaman ilmu agamanya diakui. Hanya sesekali politisi menjadi khatib terutama ketika jelang Pemilu. Kali ini, ada banyak imam dadakan di rumah-rumah yang jamaahnya hanya anak dan istri atau kerabatnya sendiri.


Justru imam-imam dadakan inilah yang mentaati seruan pemerintah, otoritas ulama dan ormas Islam untuk shalat Ied di rumah. Imam-imam dadakan inilah yang paham bahayanya resiko penularan Covid-19. Imam-imam dadakan inilah yang paham bahwa "menjaga keselamatan nyawa" adalah wajib dan shalat Ied cuma sunnah. Imam-imam dadakan inilah yang selalu berikhtiar dan pastinya mengingat firman Allah, "Sesungguhnya Aku tidak akan merubah nasib suatu kaum, bila kaum itu sendiri tidak mau mengubahnya".


Imam-imam dadakan inilah umat yang otentik bukan umat yang diramal oleh Rasulullah akan hanya menjadi "buih di lautan".


Semoga imam-imam dadakan semakin banyak. Semoga umat yang otentik semakin kuat. Semoga "buih di lautan" segera tersapu gelombang.




Sebuah artikel opini yang ditulis oleh Alfanny, WNI yang ber-KTP Islam

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Administrator

Tags

Rekomendasi

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB
X