Maka aneh, kenapa hanya PT Virtue Dragon Nickel Industry di Konawe itu saja yang bermasalah dengan tenaga kerja? Kenapa untuk masalah tenaga kerja, yang saya yakin bisa dicari di dalam negeri, Menko Luhut harus mengabaikan psikologi dan keprihatinan rakyat dan para penganggur yang melonjak?
KAPASITAS PEKERJA INDONESIA
Insinyur-insinyur Indonesia telah membuktikan bahwa mereka bisa mengoperasikan industri-industri, tentu dengan penyesuaian-penyesuaian minor. Di masa lalu ketika Jepang aktif membangun industri di Indonesia, insinyur-insinyur Indonesia dikirim ke Jepang dua minggu untuk bisa mengoperasikan mesin-mesin industri. Tidak ada yang terlalu sulit karena mereka telah menguasai basic technology/knowledge. Masalah terutama bagi insinyur Indonesai adalah bahasa (Jepang), banyak manual masih berbahasa sono. Situasi teknologi Cina saya kira tidak jauh berbeda dengan Jepang.
Pekerjaan yang berbahaya dan membutuhkan ketrampilan tinggi, saya telah uraikan di atas, tersedia cukup banyak di Indonesia.
Bagaimana dengan kemampuan manajemen pekerja kita? Saya sedih sekali mendengar seorang Menko melecehkan bangsanya sendiri, katanya mereka '...belum bisa mengelola projek milyaran dollar.' Investasi PT. Virtue Dragon di Konawe diperkirakan antara USD 1 - 1,4B (sekitar Rp 15-22 T). Apakah tidak ada perusahaan senilai itu di Indonesia? Pada tahun 2016 Bumi Resource memiliki aset 42T; aset PT. Inalum USD 11.8B; sedangkan aset Tokopedia diperkirakan sekitar USD 7B.
Projek di Indonesia dengan nilai di atas USD 1B saya kira tidak sedikit. Satu contoh saja adalah projek PLTU Suralaya Banten, 4000MW, memiliki nilai investasi USD 5B.
Artinya, sudah sejak lama pekerja-pekerja Indonesia memiliki kapasitas untuk mengelola perusahaan atau projek jauh di atas USD 1B.
Kesimpulannya, rakyat sudah cape, sangat cape. Rakyat lelah karena terus dipermainkan oleh elite-elitenya. Elite-elite berbohong dan melemparkan pesan-pesan palsu ke publik, sementara di balik tabir terjadi transaksi-transaksi yang merugikan rakyat.—
Penulis: Radhar Tribaskoro - Bandung Initiatives